"Pekerja di rumah saya itu KTP nya di Lampung, mau coba bawa KTP, tapi ditolak," kata Rachel saat ditemui di Komplek DPR-RI, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (8/7).
Melihat kondisi ini, Rachel menyesali sosialisasi yang kurang atas pencoblos yang berdomisili di daerah. "Saya agak menyayangkan untuk orang daerah yang tidak bisa mencoblos di tempat lain, harusnya bisa dengan surat A5 tapi karena sosialisasinya kurang, ternyata peraturan ini beda-beda. Saya dapat info dari orang lain di daerah bisa, karena semangat dari UU untuk menyukseskan pemilu, tapi ternyata di tempat lain ada yang saklek dan enggak ada celah," keluh Rachel.
Meski ditolak di TPS tempat tinggalnya, Rachel tak patah arang. Ia bersemangat mengantarkan pembantu rumah tangganya untuk mencari ke TPS lain dengan membawa identitasnya.
"Kita coba saja ke TPS lain, pembantu saya bilang mau nyoblos presiden pilihan ibu. Dia tidak ada A5-nya, kita mau coba tempat lain, karena kebijakan antara TPS satu dan yang lain beda. Saya bicara dengan teman-teman di komisi 2 yang membuat peraturan ini, katanya sih harusnya bisa diperbolehkan," ucapnya.
Sementara itu, Makamah Konstitusi lewat putusan pada 6 Juli 2009 menyatakan, Pasal 28 dan 111 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dinyatakan tetap konstitusional selama mencakup para pemilih yang tak masuk dalam DPT ataupun DPT tambahan. Artinya, suara tak hanya bisa diberikan oleh para pemilik yang masuk dalam DPT dan DPT tambahan seperti KTP, atau Paspor bagi pemilih di Luar Negeri.
Meski begitu, putusan MK bernomor 102/PUU-VII/2009 ini tetap mengacu pada aturan lainnya, misalnya pemilih harus memilih di tempat pemungutan suara yang berada di RT/RW tersebut. Para pemilih ini harus mendaftarkan ke KPPS sebelum pemungutan suara dan menggunakan hak suaranya satu jam sebelum TPS ditutup.
Icha/Tabloidnova.com
KOMENTAR