Melihat kenyataan ini, KPAI justru tak bisa seratus persen sepaham dengan mereka. "Dari awal kejadian, KPAI mengimbau semua pihak agar kasus ini diselesaikan dalam sistem pendidikan. Korban diberikan pemulihan dan perlindungan, pelaku menyadari kesalahannya, minta maaf dan diberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku," ungkap M Ihsan, Sekretaris KPAI dalam pesan elektroniknya.
KPAI berharap proses ini lebih diselesaikan antar orang tua korban dan pelaku. Jika pembahasan ini mendapatkan kesepakatan antara orang tua korban dan pelaku, laporan di kepolisian bisa dicabut.
"Penetapan 7 orang tersangka dan sikap Mendikbud menunjukan bahwa lembaga pendidikan mati suri," ungkapnya lagi.
Kendati bukan berarti KPAI menolerir, kekerasan dalam tembok sekolah namun berharap penyelesaian melalui fungsi lembaga pendidikan. Mengingat lembaga pendidikan juga memiliki tanggung jawab moral terhadap moralitas generasi penerus bangsa.
Dan, mengingat remaja adalah sekelompok generasi yang dalam masa transisi, mereka tentunya membutuhkan pengakuan aktualisasi diri, eksistensi, penghormatan, perhatian, penghargaan dan bekelompok. "Ketika penyaluran ini buntu karena lembaga pendidikan tidak ramah anak, pantaskah semua resiko dibebankan pada anak?" ungkapnya balik mempertanyakan sikap pemerintah.
KPAI menghimbau agar proses hukum memang perlu memperhatikan hak-hak anak yang sedang dalam masa transisi ini. Dengan benar-benar berdasar pada UU perlindungan anak yang ada.
"Mari lindungi anak Indonesia dari paradigma orang dewasa yang tidak ramah anak. Jangan korban anak karena emosi orang dewasa. Korban harus dilindungi tapi pelaku juga korban dari slemahnya istem pendidikan dan pengasuhan," pungkasnya.
Laili
KOMENTAR