Sudah belasan tahun tiga ibu yang bersahabat, Andriyani, Yulianti (37), dan Rifa (40), bekerja di PT Megah Buana. Bahkan, mereka bergabung ketika perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) yang berlokasi di kawasan Koja, Jakarta Utara, itu masih belum berkembang. "Saya mulai kerja sejak 1998, selisih 1-2 tahun dengan Yuli dan Rifa. Waktu itu, perusahaan belum begitu besar. Jadi kami termasuk orang lama," kisah Yuli.
Seiring waktu, imbuh Rifa, Megah Buana berkembang pesat. Perusahaan terus menanjak, sampai mengalami booming pada tahun 2000. Jumlah karyawan pun bertambah hingga ratusan jumlahnya. Di masa jaya itu, "Dalam satu periode kami pernah memberangkatkan 600 TKI ke luar negeri. Perusahaan kami termasuk terpercaya. Banyak calon TKI yang datang. Apalagi, kami memang memberangkatkan mereka sesuai prosedur. Para calon TKI juga mendapat bekal cukup."
Sebagai orang lama, mereka bertiga lalu naik jabatan. Dari semula karyawan biasa, Andri naik jabatan menjadi kepala bagian perekrutan TKI, Yuli sebagai kepala administrasi penerimaan, dan Rifa memegang posisi penting di bagian pemrosesan keberangkatan TKI. Pendapatan mereka pun meningkat. "Saat itu saya dapat gaji Rp 2,5 juta per bulan plus THR sekali gaji tiap tahun. Gaji pun dibayarkan tepat waktu di awal bulan. Tidak pernah terlambat," kata Yuli seraya mengatakan pemilik perusahaan adalah seorang politisi partai yang kini duduk menjadi anggota dewan.
Andri lalu menambahkan, "Dari perusahaan yang belum apa-apa, Megah Buana kemudian menjadi perusahaan yang punya apa-apa. Selain punya belasan cabang di luar kota, perusahaan ini juga berkembang punya beragam usaha."
Akan tetapi, masa jaya tidak berlangsung lama. Tanpa tahu persis sebabnya, sejak 2008 perusahaan mulai kolaps. Dugaan Andri, "Dulu, PJTKI boleh langsung memberangkatkan TKI ke Korea. Belakangan ada peraturan pengiriman dilakukan langsung oleh pemerintah. Istilahnya G to G (Government). Sejak itu, perusahaan mulai surut. Kendati begitu, gaji masih lancar. Sejauh itu, hubungan karyawan dengan pihak direksi juga masih terjalin baik."
Sampai akhirnya mereka bertiga kaget ketika Juni 2009, mereka mengalami keterlambatan menerima gaji. Bahkan, gajinya sampai dibayarkan dua kali alias dicicil pada pertengahan dan tengah bulan. Setelah itu, sampai beberapa bulan berturut-turut gaji mereka terlambat dibayarkan. Mereka pun mencoba menanyakan kepada perusahaan. "Jawabannya, tidak ada pengiriman TKI lagi. Makanya gaji dicicil karena tidak ada pemasukan."
Keadaan ini berlangsung sampai 18 bulan tanpa kejelasan. Menurut Andri, semua karyawan juga mengalami nasib yang sama. Akibatnya, banyak karyawan yang memilih mengundurkan diri. "Teman-teman tidak dapat pesangon. Setahu saya, tak ada satu pun yang mendapat uang jasa atau sejenisnya," ujar Andri seraya mengatakan Megah Buana kini tinggal memiliki dua cabang di luar Jawa.
Andri dan dua rekannya mengaku mencoba bertahan. "Sebenarnya, sih, kami juga sudah enggak tahan. Apalagi keterlambatan gaji terus berlangsung. Sampai THR tahun 2009 juga hanya dibayarkan separuh."
Kondisi kantor, papar Andri, sudah tidak begitu nyaman. "Perubahan kondisi kami drastis sekali. Dari semula penghasilan jelas, sekarang jadi enggak pasti. Enggak enak juga ketika Mama sempat bertanya, kok belum gajian? Hubungan dengan direktur perusahaan juga jadi tidak begitu nyaman."
Andri dan dua rekannya kembali mencoba bertemu direktur. Mereka ingin menanyakan masalah yang dihadapi. "Kami briefing dengan direktur soal keterlambatan gaji kami. Katanya, perusahaan tidak punya uang. Ya, sudah kalau perusahaan memang sudah enggak bisa menggaji kami, tolong kami di-PHK atau bagaimana lah. Tapi mereka bilang, tidak mau merumahkan atau mem-PHK. Akhirnya kami digantung, mereka mau kami keluar begitu saja."
KOMENTAR