Pencinta kuliner yang tinggal di kawasan Tangerang tentu tak asing lagi dengan warung kuliner "Siomay Andy". Warung ini biasa pula disebut Siomay Sewan lantaran lokasinya berada di Gang Sewan, Kampung Cikahurip, Mekarsari, Neglasari, Tangerang. Saking ternamanya warung siomay milik Yo Ribut ini, jalan itu pun lebih akrab disebut Gang Siomay.
Siomay Sewan dikenal murah dan enak. Satu potong siomay dihargai Rp 3 ribu. "Kelebihan Siomay Sewan adalah rasanya yang enak dan gurih. Rahasianya, perbandingan antara ikan tenggiri dengan tepung sagu yang sama. Kami juga selalu memilih ikan yang segar," kata Andy (28), anak bungsu pasangan Yo dan Lie.
Yo mulai jualan siomay sejak masih bujangan. "Dulu jualan keliling pakai sepeda. Papa sendiri yang masak di rumah lalu dijual keluar-masuk kampung pakai sepeda. Setelah menikah, barulah dibantu Mama masak di rumah," tandas Andy yang sehari-hari membantu ayahnya membuat adonan.
Sekitar tahun 1983, Yo membuka warung kecil-kecilan di sebelah rumah. Warung kecil itulah yang kini berkembang besar. Sehari-hari, Yo memasak hingga 30 kilogram adonan siomay. "Belakangan memang menurun karena banyak saingan warung siomay yang jualan di pinggir jalan."
Selain Andy, anak-anak Yo yang lain juga ikut terlibat dalam usaha siomay ini. Herman (30), kakak Andy, membuka warung es kelapa muda di dekat warung Siomay Andy. Sementara Bu (32) bertugas menjadi juru parkir warung dan membantu mencetak siomay. Dan tak ada yang menyangka, di tangan Bu pula nyawa Yo dan Lie berakhir.
Peristiwa ini bermula ketika Bu, anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Yo dan Lie, harus melunasi utang judi yang dilakukannya di Kampung Baru, Tangerang. Jumat (6/7) lalu, "Sekitar pukul 02.00 saya datang ke rumah orangtua dan dibukakan pintu setelah mengetuk jendela kamar," aku Bu yang hendak minta uang sebesar Rp 500 ribu kepada Yo. Setelah semua anak-anaknya menikah, Yo dan Lie memang hanya tinggal berdua di rumah itu.
Bukannya uang tunai yang didapat, Yo justru marah-marah karena dimintai uang di pagi buta. "Saya dipukul pakai penggorengan siomay," lanjut Bu yang kemudian balas memukul sang ayah dengan besi yang sudah ia persiapkan dari rumah. Yo pun tersungkur. Pertengkaran ayah dan anak itu lantas membangunkan Lie Sek Mio, sang ibu. Alih-alih meredakan emosinya, Bu justru menghampiri ibunya dan memukulnya hingga tubuh Lie roboh. Untuk memastikan jasad kedua orangtuanya sudah meninggal, Bu lalu membakar kertas dan pakaian.
Setelah yakin orangtuanya tak lagi bernyawa, Bu mulai membongkar lemari. Ia menduga ibunya menyimpan banyak uang. "Soalnya, beberapa hari sebelumnya mereka baru saja menerima uang hasil penjualan tanah sebesar Rp 60 juta," kata Bu yang kecele karena di lemari hanya tersimpan uang sebesar Rp 1,3 juta. Uang itu sedianya digunakan Yo untuk biaya operasional Warung siomay. Rupanya uang hasil penjulan tanah itu sudah dimasukkan ke bank.
Uang itu, lanjut Bu, semula direncanakan untuk biaya pemecahan sertifikat tanah rumah dan warung. Rencananya pula, Yo dan Lie akan mewariskan tanah ini ke kelima anaknya. Belum lagi niat itu kesampaian, pasangan suami istri ini sudah menemui ajalnya.
Nasi sudah menjadi bubur. Namun Bu yang hanya menemukan uang Rp 1,3 juta, belakangan mengaku langsung menyerahkan uang itu ke istrinya. Agar tak tertangkap polisi, Bu pun mengatur strategi. "Saya pulang, mandi, dan mencuci semua pakaian dan sepatu," ungkap Bu yang juga sempat membuang potongan besi yang dipakai untuk memukul Yo dan Lie di perjalanan menuju rumahnya.
Untuk menenangkan hati sambil mengatur "skenario", "Saya sempat ngopi dulu," ujar Bu. Ia lalu keluar membeli bensin. Niatnya, "memusnahkan" kedua orangtuanya kalau-kalau mereka masih bernyawa. "Tapi begitu sampai rumah, ternyata mereka benar-benar sudah meninggal."
Rencana Bu pun berubah. Ia lantas berpura-pura menemukan orangtuanya sudah meninggal dan cepat-cepat mengabari saudaranya. Tetangga dan kerabat pun berdatangan. "Kami semula mengira orangtua kami dirampok. Kami tak menduga pelakunya saudara sendiri," kata salah satu menantu Yo yang enggan disebut namanya.
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR