Selama tiga hari pelatihan, para perajin yang bekerja di sejumlah workshop milik pengusaha tenun yang berasal dari Desa Gelgel (Kungkung), Desa Tangkup, dan Desa Sidemen (Karangasem) dengan semangat dan antusiasme cukup tinggi tak mau ketinggalan mengikuti pengarahan yang diberikan Koestriastuti atau biasa disapa Bu Tria maupun Marsono.
Sejumlah ibu yang mengikuti pelatihan ini mengaku senang diberi ilmu tambahan oleh CTI. Nengah Sili (39), ibu dua anak yang sudah sejak kecil menenun ini berujar, "Saya jadi tahu proses mewarnai benang yang benar. Ya, mudah-mudahan nanti saya dan teman-teman penenun lain bisa menciptakan warna sendiri." Nengah yang tinggal di Desa Tangkup ini menenun di rumahnya kemudian hasilnya diserahkan ke pengusaha tenun I Ketut Murtika, pemilik Dian's Rumah Songket dan Endek di Gelgel, Klungkung.
Nengah menerima upah untuk selembar kain songket atau endek (ikat) berkisar antara Rp 300-600 ribu, tergantung motif dan kesulitan atau lamanya. Ia menenun setiap hari, seusai menyelesaikan pekerjaan rumah dan mengasuh kedua anaknya, hingga sore. "Untuk songket, karena lebih rumit, pengerjaannya bisa sekitar 1-2 bulan. Kalau endek sekktar 1-2 minggu saja," terang Nengah.
Selain Nengah, Wayan Putu Sudana (42), juga mengaku senang bisa belajar pewarnaan benang dari CTI. Pria yang bekerja di usaha tenun Pelangi di Sidemen ini sehari-harinya memang bekerja sebagai tenaga pencelupan dan pewarnaan benang tenun. "Cara pewarnaan benang yang diajari CTI beda dengan yang saya lakukan sebelumnya. Saya harap, setelah ikut pelatihan ini warna-warna kain tenun yang dihasilkan dari Desa Sidemen bisa lebih bagus," kata Wayan.
Di hari ketiga atau hari terakhir pelatihan, Ratna Panggabean memberikan banyak masukkan kepada para perajin, terutama soal memadukan warna benang sebelum menjadi sehelai kain tenun. Ratna juga membuat sejumlah desain motif yang selanjutkan dijadikan pekerjaan rumah untuk para perajin, yang pada propgram pelatihan berikutnya hasil tenun mereka akan dievaluasi tim CTI.
"Ada beberapa motif atau corak yang biasa dipakai untuk ucapara adat orang Bali menjadi sakral jika sudah diberkati oleh kepala adatnya. Itu tidak kami ganggu. Tapi pada dasarnya para perajin suka bikin motif bunga-bungaan," papar Ratna ketika memantau kain tenun I Gusti Oka Swastika yang memiliki Galeri Swastika. Oka Swastika merupakan pengusaha tenun yang mengikuti pelatihan Garuda dan CTI pada periode pertama tahun 2009, dan kini telah menikmati hasilnya karena sering diikutkan pameran di Jakarta oleh Garuda dan CTI.
Selain Oka, ada sejumlah nama pengusaha dan perajin tenun Bali yang juga telah meraih sukses berkat mengikuti pelatihan yang diadakan Garuda dan CTI, yakni I Wayan Suartana atau Kawi pemilik Galeri Bali Arta Nadi di Desa Telaga Tawang, Br. Lantang Katik, Sidemen dan I Ketut Murtika pemilik Dian's Rumah Songket dan Endek di Gelgel, Klungkung
Uniknya, di antara para peserta pelatihan yang dilakukan di salah satu ruang perteman di Desa Talibeng, Sidemen, ternyata terdapat dua guru SMP Negeri 1 Sidemen yang mengikuti pelatihan. Mereka adalah I Gusti Aku Karang, biasa disapa Bu Ayu (40) dan Ketut Tumban (45). "Ya, kami ikut pelatihan ini agar bisa menularkan ilmu ke murid-murid kami. Karena di sekolah kami ada ekstrakulikuler menenun sejak 2005. Ekstrakulikuler ini baru ada di sekolah kami," papar Ayu, guru PKN dan koordinator ekstrakulikuler menenun SMPN 1 Sidemen.
Ketut yang juga merupakan guru PKN SMPN 1 Sidemen dan koordinator SMPT (Sekolah Menengah Pertama Terbuka) di Sidemen, menambahkan, "Ada 10 unit pesawat atau alat tenun yang disumbangkan Pemda Bali untuk sekolah kami. Tadinya untuk siswi SMPT agar ada kegiatan yang menghasilkan. Bahkan mereka sering dapat juara di lomba menenun di Jakarta. Tapi makin lama jumlah murid SMPT makin menurun, karena tingkat ekonomi orangtua murid mulai membaik. Akhirnya alat tenun itu tetap dipakai untuk ekstrakulikuler tenun bagi siswi SMPN 1 Sidemen."
Menurut Ayu, para siswi SMPN 1 Sidemen cukup berminat dan tertarik mengikuti ekstrakulikuler menenun yang diadakan setiap hari Sabtu seusai jam sekolah, selama 1 jam. "Pengajarnya perajin tenun dari Sidemen, namanya Ibu Desa Putuwati, yang mengajarkan para siswi cara menenun dari tahap dasar. Soalnya masih banyak siswi yang belum pernah menenun sama sekali."
Ya, tentu banyak cara untuk melestarikan tenun Bali. Jika bukan mereka sendiri yang melakukannya, lantas siapa lagi?
Intan Y Septiani
KOMENTAR