Pagi belum datang ketika Dyah membuka buku lembar keterampilan milik Bian. "Guru menyerahkannya saat saya di rumah sakit. Saya memang tak pernah melihatnya karena buku itu disimpan di sekolahnya. Salah satu karya Bian membuat saya terpana. Ia menuliskan salah satu firman Tuhan, yang intinya semua adalah ciptaan Tuhan dan pasti akan kembali kepada-Nya. Tulisan Bian mengingatkan saya tidak boleh sedih karena Bian sudah kembali kepada Tuhan."
Dyah pun merelakan kepulangan anaknya ke rumah Tuhan. Ia sudah merasa berbahagia enam tahun menjaga putri tunggalnya. "Bila ditanya suka-dukanya, saya akan menjawab tidak ada kata duka. Semuanya penuh suka cita. Bian bukan anak nakal. Sebaliknya, dia sangat menyenangkan. Ayahnya mengajari Bian agar mandiri. Terbukti, dia berani berangkat ke sekolah sendiri naik ojek langganan," tutur Dyah dengan nada bangga.
Ia kemudian berkisah, "Bian ikut acara perpisahan di sekolah, TK Penabur. Dia juga sudah diterima di SD Penabur. Saya tidak menyangka, hari itu benar-benar perpisahan terakhir dengan teman-teman sekolahnya."
Yohanis menambahkan, Bian juga suka sekali mendengarkan lagu rohani anak. Bian menyebutnya sebagai lagu milik adik. Tiap mereka bersama-sama naik mobil, "Bian selalu minta saya memutar lagu adik. Dia paling suka lagu Di Doa Ibuku. Wah, berulang kali kaset itu diputar tapi dia enggak pernah bosan," ujar Yohanis.
Di sekolah, lanjut Yohanis, Bian tergolong aktif. Antara lain ikut ekstrakulikuler drumband. "Beberapa waktu lalu grup drumband-nya meraih juara 3 tingkat DKI Jaya. Nah, untuk kategori bendera, sekolahnya meraih juara 1. Bian termasuk pemegang bendera. Bian juga suka sekali mendengarkan musik. Dia senang main organ dengan lagu favorit Edelweis dan Suci, Suci, Suci. Beberapa hari sebelum kejadian, dia main organ sambil memangku Nevlin (1,5), anak Onci yang juga ikut jadi korban. Dia seolah-olah ingin mengajari Nevlin."
Memang berat kehilangan empat kerabat dekat sekaligus. Namun Yohanis dan Dyah mampu menunjukkan ketabahannya. Alam senyap Kampung Basse Sangtempe pun telah memeluk kembali orang-orang terkasih itu dalam damai...
Masih kental dalam ingatan Yohanis detik-detik saat musibah terjadi. Siang itu, urai Yohanis, sekitar pukul 14.00 ia tiba di rumahnya dari kantor. Keluarga ini berencana ke Malang dengan Kereta Gajayana pada jam 17.15.
"Pembantu tak segera buka garasi mobil. Lalu saya terima telepon dari kantor. Tak lama kemudian, saya masuk rumah lewat pintu dapur. Saya lihat pembantu sedang masak. Ketika saya tanya kenapa rumah sepi, jawabnya semua sedang tidur di kamar depan. Yang tidur adalah Mama, Onci, Nevlin, dan Bian," papar Yohanis.
Yohanis lalu melepas sepatu. Selanjutnya, ia ingin membangunkan Bian untuk siap-siap berangkat ke Gambir. Pada saat itulah Yohanis mendengar deru pesawat begitu dekat. Ia berpikir, suara itu berasal dari arah depan rumah. Belum sempat mencari tahu, terdengar suara benturan keras sekali. "Hidung pesawat berhenti tepat di depan saya. Pas di depan tempat tidur."
Plafon dan atap rumah Yohanis sontak rubuh berjatuhan. Semuanya terjadi begitu cepat. Yohanis pun dilanda kepanikan. Bagaimana nasib Bian? Refleks, ia berlari ke dalam kamar. Di situ ia melihat putri semata wayangnya dan tiga anggota keluarganya sudah tertutup badan pesawat dan reruntuhan rumah. "Saya panggil keras-keras nama Bian dan Mama, tak ada jawaban."
Yohanis terus berusaha mencari Bian. Dengan tangan telanjang, ia mencoba membongkar dan menyingkirkn puing-puing yang menutupi tubuh orang-orang tercintanya. "Tapi saya tidak kuat." Meski panik luar biasa, Yohanis mencoba berpikir jernih. Apalagi ia melihat avtur mulai berceceran dari badan pesawat. "Untung angin berembus ke arah depan. Andai saja angin bertiup ke arah dalam rumah, sudah pasti rumah habis terbakar."
Hanya beberapa jenak setelah itu, Yohanis melihat api mulai menyala. Tak lama api pun mulai membakar rumah di depan kediamannya. "Api langsung membakar lima rumah di depan rumah saya," kata Yohanis yang langsung bergegas ke luar rumah dan berteriak minta tolong. Hari itu juga, keempat tubuh keluarganya berhasil ditemukan. "Puji syukur, tubuh mereka tidak rusak. "
Henry Ismono
KOMENTAR