"Mungkin orang menyangka saya gila karena selalu membawa kaus kaki Ismi. Juga kain yang saya gunakan terakhir kali menggendongnya. Saya tak bisa terima Ismi meninggal dengan cara begitu menderita," ratap Ira Atmirawati (30) sambil menunjukkan kaus kaki Ismi Aprilia Nurjanah (4), yang meninggal 21 Mei lalu.
Sambil bertutur, airmata Ira pun terus mengalir. Buah hatinya yang lahir 1 April 2008, kata Ira, sangat menderita. "Selama 2 tahun 8 bulan terbaring tanpa daya di Rumah Sakit (RS) Santo Borromeus, Bandung. Dia tak bisa apa-apa. Padahal, ketika masuk RS, dia cuma diare dan panas. Lantas kenapa bisa seperti ini? Semua ini karena pihak RS telah merusaknya," papar Ira saat ditemui di kediamannya di Bangbayang Selatan, Bandung.
Ira yang saat diwawancara ditemani suaminya, Ade Zulherman (43), menceritakan nasib malang putrinya itu. September 2009 silam, kisahnya, Ismi dirawat ibunya di Garut karena baby sitter pulang jelang Lebaran. "Saya kerepotan merawat Ismi dan kembarannya, Isma Aprilia Nuraini, karena saya dan suami mesti kerja jualan ayam goreng," kata Ismi yang berdagang di Simpang Dago.
Beberapa hari kemudian, "Ibu telepon, mengabarkan Ismi panas dan diare, bahkan sampai dirawat di RS di Garut selama 2 hari 3 malam," tutur Ira yang bersama suaminya langsung menjenguk anaknya. "Saya dan suami sepakat memindahkan perawatan Ismi ke Bandung biar lebih dekat dengan kami."
Tak Sadar
Ismi lalu dirawat di RS Santo Borromeus, tempat dulu Ismi dan Isma dilahirkan. Ira ingat betul, ia membawa Ismi tanggal 26 September 2009 dengan keluhan diare dan panas tinggi. "Saya kaget ketika dr Sjy yang memeriksa mengatakan, sakit Ismi tak ada hubungannya dengan perut. Ismi lalu direkomendasikan untuk dirawat dokter bedah dan saraf. Dokter melakukan CT Scan. Katanya, ada pembesaran di kepala. Saya orang awam, setahu saya kalau ada pembesaran kepala, ya, hidrosefalus."
Dua hari setelah Ismi dirawat, ujar Ira, dokter minta persetujuan untuk operasi. "Ada cairan di otak yang mesti dikeluarkan. Saya minta waktu berpikir selama tiga hari untuk salat istikarah. Selain itu, kondisi Ismi juga belum begitu baik, panasnya masih di atas 40 derajat. Saya juga minta Ira diobati dengan cara lain, jangan dioperasi."
Ira mengaku cemas ketika dokter mengatakan, "Ibu akan menyesal seumur hidup bila Ismi tak dioperasi." Masih menurut Ira, "Dokter juga memberi kabar baik. Katanya, dia pernah punya pasien seperti Ismi yang usai operasi kondisinya bagus, bahkan kini sudah punya pekerjaan bagus. Saya lega dapat gambaran dari dokter seperti itu. Saya ingin memberi yang terbaik untuk Ismi. Saya pun setuju Ismi dioperasi."
Dikatakan Ira, ia sempat berlega hati mendengar penjelasan dokter usai operasi. "Saya sampai bersujud syukur karena kata dokter kondisi Ismi bagus. Cairan di kepalanya bening. Masih kata dokter, kalau cairan berwarna kuning, itu sudah bahaya. Ismi hanya perlu beberapa hari di ruang ICU."
Namun kelegaan Ira berganti cemas. "Ternyata sampai 26 hari, kondisi Ismi tetap saja tidak sadarkan diri. "
Hampir sebulan Ismi di RS, tentu perlu biaya besar. "Dari hasil tabungan, saya hanya punya Rp 10,5 juta, sedangkan biaya per hari Rp 2,5 juta. Bagaimana membayar biaya perawatan? Makanya saya minta Ismi dibawa pulang saja karena selama ini tak ada perbaikan. Dokter melarang. Saya diminta tak berpikir soal biaya. Katanya, yang penting menyelamatkan nyawa Ismi."
Dari ruang ICU, papar Ira, Ismi dipindah ke ruang isolasi yang tarif seharinya Rp 500 ribu. Semua peralatan dan selang medis masih menempel di tubuhnya. Dari selang oksigen, infus, dan rekam jantung. "Tapi keadaannya tak membaik. Bahkan lehernya makin lunglai dan kaki tertekuk. Tubuhnya mirip huruf S. Saya sedih sekali," ujar Ira.
Sampai sekian bulan setelah dioperasi, Ira melihat ada yang tak beres dengan kondisi Ismi. "Matanya tak ada respons. Saya minta dokter mata memeriksa. Kata Dokter Yahya yang memeriksa, 'Ibu mesti tabah. Ismi tak bisa melihat.' Dunia rasanya runtuh. Ya, kondisi fisiknya jadi makin memburuk. Dia hanya tertidur tanpa bisa berbuat apa pun. Bicara pun tak bisa."
Di saat seperti itu, Ira mengaku geram ketika 10 bulan masa perawatan, "Direktur RS minta Ismi dibawa pulang saja. Alasannya, kondisi Ismi sudah stabil dan optimal. Biaya perawatan sebesar Rp 60 juta digratiskan. Tapi saya tolak! Waktu itu, kan, Ismi tak bisa apa-apa. Bahkan terus mengeluarkan air liur. Masak iya kondisi begitu dikatakan stabil. Makanya saya terus bertahan memperjuangkan Ismi."
Tak hanya kondisi Ismi yang tak kunjung membaik, hubungan Ira dan suami dengan pihak RS pun ikut memburuk. Suatu ketika, Ira dan Ade berniat melaporkan pihak RS ke Polda Jawa Barat. "Oleh petugas, kami disarankan untuk mediasi. Intinya, kami minta pihak RS memberi rekam medis secara detail selama Ismi dirawat. Tapi tak ada kesepakatan," timpal Ade.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR