Masalah rumah tangga Anda makin rumit, ya?
Sebenarnya sejak tujuh bulan lalu saya sudah bisa hidup tenang di sebuah rumah perlindungan yang aman. Tapi setelah ada penetapan hakim menjadi tahanan rumah, hidup saya jadi tidak tenang lagi. (Sejak hakim menetapkan tahanan rumah terhadap Tuti yang duduk sebagai terdakwa kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dilakukan terhadap suaminya, Djoko Nugroho Sulistyono (52), ia harus tinggal serumah lagi dengan suaminya di Kompleks Kemang Pratama, Bekasi)
Bukannya lebih enak tinggal di rumah?
Bagi orang umum, mungkin begitu. Tapi tidak bagi saya. Apalagi sekarang ini, kami sama-sama jadi terdakwa dan korban KDRT. Masak sebagai korban dan pelaku KDRT, malah disatukan dalam rumah. (Kasus pasangan yang sudah membina rumah tangga selama 22 tahun ini memang unik. Tuti menjadi terdakwa kasus pemukulan terhadap Djoko. Dalam dakwaaan Jaksa Aris Munandar, Tuti dituduh memukul dahi Djoko dengan sepatu hingga luka. Sementara Djoko dilaporkan karena telah beberapa kali melakukan KDRT terhadap Tuti mulai tahun 1994. Kedua perkara disidang di PN Bekasi.)
Apa yang membuat tak betah di rumah?
Di rumah dipasang 16 CCTV. Jadi, semua gerak-gerik saya diawasi. Suami lebih percaya ke pembantu dibanding istri sendiri. Saya tidak boleh ke mana-mana, kecuali diajak suami. Bahkan keluar dengan anak pun, tidak boleh.
Itukah yang mendorong ingin cerai?
Sebenarnya sejak lama saya sudah tidak betah hidup kayak begini. Saya ingin hidup normal layaknya keluarga yang lain. Tahun 1997 saya pernah mengajukan gugatan cerai ke PA Bekasi, tapi reaksi suami saya justru mengejutkan. Dia malah melaporkan ibu saya ke polisi dengan tuduhan mencuri perhiasan. Masak, sih, ibu saya mencuri barang anak menantunya sendiri? Tuduhan yang mengada-ada. Lalu suami menawarkan perdamaian. Saya dipaksa mencabut gugatan cerai dengan janji dia juga akan mencabut laporan. Akhirnya gugatan saya cabut.
Anda juga sempat menggugat cerai di PA Bandung?
Ya, tapi suami justru melaporkan saya ke Polda Jabar dengan tuduhan perzinahan. Karena enggak ada bukti, saya malah dituduh melakukan KDRT dan pencemaran nama baik. Tapi ketika gugatan cerai saya cabut, dia juga mencabut laporan meski saya sudah sempat ditahan polisi selama 15 hari.
Sekarang suami juga jadi terdakwa kasus KDRT. Apa yang terjadi?
Tahun 1994 saya sempat ditempeleng sampai telinga saya berdarah. Suami juga menendang. Tahun 2005 kepala sempat dipukul dengan stik golf sampai saya pingsan. Dan yang terakhir tahun 2010. Semua tindakan kasar itu dilakukannya karena saya minta cerai. Aneh juga. Kalau memang dia tidak mau saya cerai, ya, perlakukan saya dengan baik. Yang terakhir, masalah Lebaran.
Sepanjang menikah selama 22 tahun, belum pernah sekali pun saya bisa berlebaran di Bandung, tempat keluarga saya. Suami selalu menolak. Maunya berlebaran di Kudus, di keluarga besarnya. Gara-gara saya minta Lebaran di Bandung, ia marah dan saya disiksa. Bahkan saat peringatan setahun ayah saya meninggal dan keluarga besar memutuskan membuat selamatan saat Lebaran, saya tetap tidak boleh berlebaran ke Bandung. Padahal saya sudah memohon-mohon.
Jadi, setelah menikah hubungan dengan keluarga dibatasi?
Ya, begitulah. Saya tak boleh ke mana-mana dan berhubungan dengan siapa pun. Termasuk dengan keluarga, teman atau sahabat saya. Padahal, semua orang, kan, ingin ngobrol, curhat atau apa saja dengan keluarga atau teman. Bukan bermaksud mau mengumbar aib keluarga tetapi sharing saja. Tapi suami selalu melarang. Kalau ada keluarga yang datang, juga harus izin suami. Itu pun tidak boleh berlama-lama. Yang paling parah, semua orang dicurigai dan dicemburui. Bahkan keponakan sendiri saya dicemburui.
Bagaimana mau akrab, bertemu saja jarang bahkan nyaris tidak pernah. Itulah. Makin tua, saya merasa makin tidak betah hidup begini. Oke lah di rumah kami dicukupi kebutuhan. Tapi kalau diperlakukan demikian, mana ada yang bisa bertahan? Saya ingin hidup normal.
Jadi selama ini keluar rumah hanya jika diajak suami?
Ya. Bahkan kalau ada acara, saya disuruh pakai perhiasan yang mahal-mahal. Tapi setelah sampai rumah, semua perhiasan diminta lagi dan dimasukkan lemari, dikunci.
Jadi, apa yang diharapkan saat ini?
Saya ingin cerai. Saya ingin hidup normal seperti layaknya orang lain. Saya makin tua. Anak-anak sudah makin besar. Suatu saat mereka pasti akan keluar dari rumah karena menikah. Saya ingin cerai baik-baik. Kalau bisa, setelah cerai, saya tetap mau jadi sahabat.
Anak-anak juga sudah dewasa. Mereka bisa menentukan akan memilih ikut siapa. Kalau soal anak-anak, kan, bisa diasuh bersama. Saya yakin, hubungan darah tidak akan membuat ibu dan anak terpisah. Mereka tetap anak-anak saya. (Dari perkawinan Tuti dengan Djoko, lahir tiga anak. Dua sudah kuliah dan si bungsu kelas 3 SMP.)
Minta pembagian harta gono gini juga?
Tidak! Bahkan saat saya diperiksa polisi, saya sudah dipaksa membuat surat pernyataan tidak menuntut harta gono-gini. Dan saya sudah tandatangani. Meski sekarang ini tidak bekerja, saya yakin bisa mandiri. Sebelum menikah saya pernah menjadi pramugari Merpati Airlines. Namun suami minta saya berhenti kerja.
Benar pernah kabur dari rumah?
Ya, karena sudah tidak betah. Saya kabur bersama salah satu anak kami. Saya cuma membawa baju yang melekat di badan. Untung banyak yang baik hati memberi baju ganti. Bahkan anak yang sempat ikut kabur, status kemahasiswaannya pernah sebulan dicabut gara-gara ayahnya melaporkan ke universitas. Katanya anak kami terlibat aliran sesat. Aneh, kan? Kok, ada ayah yang demikian ke anaknya. Untung LBH membantu mengurus masalah ini sehingga anak kami tetap bisa melanjutkan kuliah.
Saat ini Anda dan suami sama-sama menjadi terdakwa?
Ya, awalnya saya yang melaporkan suami melakukan KDRT ke Polda Metro Jaya. Belakangan saya diminta saya lapor ke Polres Bekasi. Tapi rupanya ada orang suruhan suami yang mengikuti. Sehari setelah saya lapor, ganti saya yang dilaporkan ke Polres Bekasi. Anehnya, justru laporan suami yang diproses duluan. Tapi sekarang kasusnya sama-sama masih disidang di PN Bekasi.
Apa alasan minta perlindungan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban)?
Ya, saya, kan, sebagai korban tapi kenapa sekarang justru dipaksa berkumpul dengan terdakwa. Di satu sisi, saya juga sebagai terdakwa, tapi dipaksa serumah dengan korban.
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR