Sampai saat ini bayang-bayang wajah Dayu rasanya tidak bisa hilang dari pelupuk mata saya.Tragedi bermula ketika 3 November siang tahun lalu, Dayu bersama tiga temannya tengah asyik main PlayStation di tempat penyewaan di desanya. Tiba-tiba saja, Dayu ditangkap polisi karena diduga sebagai pemakai obat terlarang.
Setelah melalui jalan perundingan, seusai memeriksa anak saya yang duduk di kelas 3 SMP itu, polisi tidak menahan Dayu. Tapi Dayu dikenai wajib lapor seminggu sekali. Pertimbangannya, kalau ditahan sekolahnya terganggu. Kelas 3, kan, mulai banyak kegiatan menjelang ujian.
Kedaan berubah ketika berkas perkara di kepolisian rampung dan diserahkan ke kejaksaan. Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Tulungagung, Kusmindar, SH, meminta Dayu diantar ke kantornya pada 12 November 2011. Saya pikir hanya untuk melengkapi berkas. Saya mengantar Dayu ditemani paklik saya, Pak Sibun.
Saya terkejut ketika Pak Kusmindar menjelaskan, Dayu tidak boleh pulang. Dayu harus ditahan. Kusmindar tetap ngotot. Katanya, kalau Dayu tidak ditahan akan membuat tersangka lain iri.
Tolak Permintaan Maaf
Dengan berat hati, saya ikut mengantarkan saat Dayu ditahan di Lapas Tulungagung. Saya masih ingat persis, menjelang masuk ke pintu gerbang penjara Dayu menyalami dan mencium tangan saya. Perasaan saya sedih. Tapi bagaimana lagi? Saya, kan, tidak bisa berbuat apa-apa. Saya sempat menitipkan Dayu kepada petugas sipir. Namanya juga penjara, kami khawatir kalau terjadi apa-apa. Saya pun pulang, masih dengan keadaan cemas.
Hari belum lama berganti. Jam 02.00 dinihari, ada seseorang mengetuk pintu rumah. Saya pikir suami saya, Syamsul Efendi, yang bekerja sebagai sales dan baru datang dari luar kota. Ternyata, seorang polisi. Kabar yang dia sampaikan sungguh mengagetkan saya. "Bu, Dayu tadi terpeleset di kamar mandi lapas, dan akhirnya tewas. Sekarang mayatnya ada di RSUD Tulungagung," begitu kata polisi.
Saya langsung menangis. Saya sulit percaya kabar itu. Mana mungkin terpeleset bisa meninggal. Apalagi, Dayu sehat-sehat saja. Saya tak kuasa menahan kepedihan.Makanya saya minta adik saya yang sedang jaga malam untuk ke RSUD. Adik saya melihat tubuh Dayu lebam-lebam. Dia sempat memotret meski awalnya dilarang Kusmindar. Ketika tahu yang memotret adalah paman Dayu, Kusmindar sempat tercekat.
Saya tidak keberatan jasad Dayu diotopsi untuk memastikan penyebab kematiannya. Ternyata lebam di tubuh Dayu akibat pukulan. Belakangan saya tahu, dia dihajar 16 anak lapas sejak ia datang sampai jam 01.00 dini hari. Saya tak bisa membayangkan, selama itu Dayu dianiaya para penghuni lapas.
Usai otopsi, siang itu jasad Dayu kami makamkan. Kusmindar didampingi beberapa anggota polisi mendatangi saya sambil minta maaf, sekaligus menyerahkan uang. Tapi saya tolak mentah-mentah permintaan maaf, juga uangnya. Dalam kesempatan lain, ada juga petugas lapas datang ke rumah untuk memberikan uang, tapi saya tolak juga.
Waktu berlalu, saya mendengar kabar, akhirnya polisi menetapkan 16 tersangka, 14 tahanan anak, sedangkan dua lainnya tahanan dewasa. Para tersangka sudah diadili, tapi pihak lapas tidak bisa begitu saja lempar tanggung jawab. Sebab, mereka tidak bisa melindungi anak saya.
KOMENTAR