Waktu salat asar sudah berlalu. Hari itu, Rabu (16/5), jarum jam di dinding sudah menunjuk jam 15.45, ketika Kiai Asnawi Alwi (32), pengasuh Pondok Pesantren Darut Tauhid (DT) Cabang Tambakrejo, Purworejo, meminta Imam Turmudzi (26), salah satu santri senior untuk bersiap berangkat ke Gombong, Kebumen (Jateng).
Menurut pemuda asal Desa Pacekelan, Purworejo itu, Kiai Asnawi berniat mengajaknya mengaji, semaan Al Quran dalam rangka hajat khitanan anak Adrongi, kakak Asnawi di Desa Pajangsari, Kecamatan Gombong. Alwi juga mengajak istri tercintanya Siti Safuroh (30) dan kedua anaknya, Sahwa Ummil Adha (3) dan Nuril Anwar (2). Keponakannya, Ifa Nurul Afida (18) yang beberapa hari setelah ujian nasional tinggal di rumah Asnawi dan Kiai Tobroni, kakak Asnawi juga ikut serta.
Total penumpang mini bus milik Asnawi ada 10 orang termasuk Imam dan tiga santri DT. "Pak As yang pegang kemudi. Kiai Tobroni duduk di samping Pak As. Jok tengah diisi Ifa, Mbak Siti, dan dua anaknya. Saya dan tiga santri lainnya duduk di jok belakang," paparnya.
Sepanjang perjalanan dari Tambakrejo hingga Desa Argopeni, Kebumen, suasana di dalam mini bus tidak ada yang aneh. Hanya saja, Asnawi yang biasanya suka bicara kepada Imam, hari itu lebih banyak diam. "Mungkin karena saya duduk di jok belakang, ya."
Namun, Imam menangkap keanehan beberapa menit sebelum keberangkatan. "Biasanya Pak As kalau bicara sama saya jarang menatap muka saya. Sore itu dia menatap saya sejenak. Saya menangkap raut mukanya terlihat sedih," tutur Imam yang berfungsi bagaikan tangan kanan Asnawi sejak 2007.
Ketika mini bus yang ditumpangi rombongan tiba di Desa Argopeni, waktu salat magrib hampir tiba. Menurut Imam, Kiai Asnawi kemudian membelokkan mobilnya ke kanan, beberapa meter sebelum mencapai lintasan kereta tak berpalang pintu. Mereka mampir ke rumah kerabat Asnawi, Mahrudin. "Usai salat, kami berbincang sebentar sambil minum teh. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan."
Tak lama kemudian, mobil melintasi rel kereta. Tiba-tiba mobil mogok. Imam sadar, mobil 'terjebak' di rel. Semua panik. Pada saat yang sama, suara kereta terdengar mendekat. "Ketika saya menoleh, ternyata jaraknya sudah dekat. Saya melihat para santri panik tidak bisa membuka pintu mobil. Saya sudah pasrah, saya mengira bakalan mati," kenang Imam.
Semua penumpang mobil panik. Apalagi, tidak ada yang sanggup membuka pintu mobil. "Nah, saat saya sudah pasrah, mendadak ada santri yang bisa membuka mobil, lalu mereka berlompatan. Saya pun berhasil melompat keluar."
Sekian detik kemudian, KA Kutojaya jurusan Kutoarjo-Tanah Abang Jakarta itu menghantam mini bus. Keluarga Asnawi tidak berhasil keluar. Saat itulah Imam menyaksikan mobil terseret hingga sekitar 300 meter. Dengan suara parau, Imam meneriakkan nama Asnawi. Demikian juga santri lainnya. "Saya langsung bangkit dan mengejar kereta. Begitu kereta berhenti saya syok sekali."
Imam menyaksikan kaca mobil sudah pecah berantakan. Posisi mobil miring dan lengket ke badan kereta. Saya lihat semua korban masih ada di tempat. Semua penumpang kondisinya mengenaskan. Bagian leher ke atas mengalami luka berat. Leher ke bawah masih utuh," kata Imam memendam kegalauan.
Hari sudah mulai gelap kala musibah itu terjadi. Suasana terasa mencekam di lokasi kecelakaan yang kanan-kirinya persawahan dan rumah penduduk itu. Dalam kondisi amat terpukul, Imam dan tiga santri yang selamat, berusaha menolong korban. "Saya angkat Pak As yang sudah tidak berdaya dengan susah payah. Lalu saya baringkan dia di pos kereta Argopeni. Tiga santri lain menunggui sambil bertangis-tangisan."
Selanjutnya, Imam berlari lagi ke tempat kecelakaan. "Saya berusaha mengeluarkan Mbak Siti dan anaknya tapi tidak bisa. Lalu saya thenger-thenger, tak tahu apa yang saya lakukan, di pinggir jalan. Hati saya sudah tidak kuat menyaksikan korban yang sudah saya anggap keluarga sendiri. Saat itulah warga mulai berdatangan."
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR