Pada 2007, Dr. dr. Zulkifli Amin, SpPD (KP) (59) mengajukan permohonan izin poligami terhadap sang istri, Erna Veronica Zulkifli (53), yang sempat didiagnosis menderita skizofrenia kronis. SK Menkes yang mengabulkan permohonan poligaminya lantas membuahkan pro-kontra dan dinilai cacat prosedur. Didampingi putra keduanya, dr. Firman Zulkifli (26), Erna mencurahkan perasaannya. Firman pun menuntut keadilan bagi sang bunda.
Apakah Anda tahu suami berpoligami?
Erna (E): Tidak tahu. Kalau ya, keluarga besar saya juga harusnya tahu.
dr. Firman (F): Kami baru tahu setelah menerima surat dari Pengadilan Agama (PA) Jakarta Timur pada Februari 2008. Isinya Mama diminta datang ke sidang permohonan poligami yang telah didaftarkan Papa.
Tentu kami kaget menerima surat itu. Sebelum bilang ke Mama, kami tanya Papa dulu. Papa membenarkan ingin poligami karena kondisi Mama yang tidak bisa mengurus Papa. Padahal menurut kami, Mama masih mampu melakukan pekerjaan rumah tangga. Jadi, alasannya seperti dibuat-buat.
Kakak saya, Lukman, lalu memberitahu Mama soal itu, saya tak tahu bagaimana reaksi Mama saat itu. Yang jelas, Kakak lalu menghadap ke PA dan menyatakan Mama tak bisa hadir karena sakit. Sempat kami buat surat kuasa tapi karena buta hukum, hingga panggilan ketiga kami tidak datang. Kemudian datang lagi surat berisi putusan pengabulan permohonan Papa berpoligami. Selanjutnya, kami cari bantuan hukum untuk melawan.
Pernah bertemu perempuan yang dinikahi Ayah?
F: Tahun 2007 saat saya studi di Melbourne, Australia, Papa bilang mau ketemu saya. Saya lalu datang ke hotel tempat Papa kongres kedokteran. Ternyata ada P, perempuan yang dikenalkan sebagai asisten Papa di RS Cipto Mangunkusumo. Belakangan saya tahu, ketika pernah ada acara di rumah akhir 2007, P datang bersama keluarganya.
Lebih lanjut saya tahu dari berkas sidang di PA tentang identitas P. Dia lulusan FK Trisakti tahun 2007. Kata Papa, mereka bertemu pada saat bimbingan. Baik P maupun keluarganya tidak pernah ada inisiatif bertemu kami. Kami juga pernah mendatangi rumah P tapi tidak direspons. Tentang poligami ini hanya keluarga Papa yang tahu, sedangkan keluarga Mama baru tahu sejak proses hukum berjalan. Mei 2011 nenek saya dari pihak Mama meninggal, seminggu kemudian Papa menikah dengan P.
F: Dulu kegiatan Mama normal. Mama suka menyetir mobil ke mana-mana. Tapi sejak 1998 Mama berubah jadi penyendiri, pendiam, dan tak beraktivitas lagi di rumah. Mama mulai sering teriak-teriak dan ketawa sendiri sehingga harus diberi obat penenang. Selama empat tahun terakhir, Mama harus dikontrol lewat obat-obatan. Tapi sering terputus-putus. Selain mahal, Papa juga kurang serius. Misalnya dalam hal memberikan obat atau memberi kasih sayang layaknya suami ke istri.
Di dalam permohonan poligaminya Papa menuliskan, Mama menunjukkan gejala gangguan jiwa. Saat Papa ke luar kota, kami bawa Mama ke RSCM. Setelah dirawat dua bulan oleh ahli psikiatri, Mei 2008, dokter bilang kondisi Mama sudah sembuh, tapi harus dikontrol dengan obat agar tidak kambuh.
Sebetulnya, seperti apa penyakit yang diderita Ibu?
F: Ada dua diagnosis schizophrenia kronis yang menuntut Mama untuk disuntik obat setiap dua minggu sekali. Selain itu, Mama juga ada hipertensi. Biaya perawatan memang ditanggung Papa. Tapi entah kenapa, akhir bulan ini biaya obat distop. Surat kesehatan Mama yang memuat dua diognosis tadi juga dipakai Papa sebagai penguat permohonan poligaminya.
Seperti apa sosok Ayah di mata keluarga?
F: Selain sibuk, beliau keras, kaku, dan kurang dekat dengan kami. Pernah saya dengar Papa bilang ke Mama dengan kata-kata 'goblok' atau 'bodoh'. Secara fisik memang tidak pernah ada kekerasan, tapi saya melihat beliau seperti menelantarkan Mama.
Sejak 1998, Mama tidak boleh mengelola keuangan keluarga, semua diurus Papa. Papa juga membuat sistem laporan tertulis, jadi kalau beli sesuatu harus ada bukti nota atau kuitansinya.
Apa reaksi keluarga saat permohonan poligami dikabulkan?
E: Saya belum tahu kalau suami sudah menikah lagi. Cuma tahu kesehariannya saja. Pasien suami memang banyak, jadi jam praktiknya panjang dan selalu pulang di atas jam 22.00. Saya suka nyambut suami pulang.
F: Kami mengajukan perlawanan karena Mama tidak pernah mengiyakan mau dipoligami. Mengacu pada UU Perkawinan, izin ini sebenarnya tidak sah karena hanya berupa surat izin dari atasan, yaitu Kepala Departemen Penyakit Dalam RSCM saat itu. Sedangkan Papa, kan, PNS Eselon 4D sehingga izin harus turun dari Menteri Kesehatan. Karena itu kami menang di tingkat PA.
Lalu pada Januari 2010, pihak personalia RSCM memberitahukan bahwa Papa megajukan permohonan poligami lagi. Dan Maret 2010, Surak Keputusan (SK) Menkes yang menyetujui permohonan poligami Papa ternyata turun.
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR