Lewat Cultural Trip to Jepara-Rembang, Gelar Nusantara yang didukung Female Radio, Female Circle, dan National Geographic Traveler, Tabloid NOVA melakukan Napak Tilas Jejak Kartini ke Jepara-Rembang (27-29 April 2012). Perjalananan yang diikuti 18 peserta ini diawali ke Museum Kartini yang terletak di lingkungan rumah dinas Bupati Rembang. Bangunan yang sudah ada sejak 1741 ini merupakan tempat tinggal Kartini setelah dua hari menikah dengan Bupati Rembang Adipati Djojoadiningrat, 12 November 1903.
Kartini pun mendapat hadiah sekolah keputren berwarna hijau yang posisinya berada di bagian kiri museum. Saat melongok ke bagian dalam museum, terdapat berbagai peninggalan Kartini seperti tempat tidur, meja merawat bayi, dan lemari. Sayangnya, Kartini belum sempat memakai meja untuk bayinya itu karena keburu meninggal dunia.
Setelah melahirkan bayi laki-laki, Soesalit, 13 September 1904, empat hari kemudian Kartini meninggal dunia di usia 25 tahun. Tahun 1990, Soesalit meninggal di usia 60 tahun dengan meninggalkan 1 anak dan 5 cucu. "Mereka tidak ada di sini dan tidak mau menonjolkan diri. Mereka ingin menjadi orang biasa saja," jelas salah satu petugas museum.
Di atas lahan seluas 1,6 hektar ini pengunjung bisa menyaksikan jejak peninggalan Kartini. Mulai dari bak mandi, rono penyekat hadiah pernikahan dari sang ayah, meja makan, dan foto-foto bersejarah. Sampai sekarang tegel museum tidak diganti, sementara gentingnya sudah dua kali diganti.
Museum juga menyimpan surat-surat Kartini yang kemudian dijadikan buku Habis Gelap Terbitlah Terang sebanyak 583 halaman. Salah satu surat tertuang perasaan Kartini tentang kehamilannya. "Sekarang saya sedang mempersiapkan pakaian bayi bagi calon cucu Ibu. Adik-adik mengharapkan perempuan, suami sangat mengharapkan laki-laki. Apabila lahir perempuan, kasih sayang saya akan berlipat karena semuanya di sini mengharapkan laki-laki." (Surat RA Kartini, 30 Juni 1904).
"Bila Tuhan mengizinkan, pada akhir bulan September akan datanglah seorang utusan Tuhan, akan memperindah lagi hidup kami yang sudah indah ini. Akan memperteguh, lebih mempererat tali silaturahmi yang sekarang sudah mengikat kami berdua." (Surat Kartini 6 Maret 1904). Begitu tulis Kartini.
Setelah melihat kilas kehidupan Kartini di Rembang, perjalanan berlanjut ke makam Kartini di Bulu Mantingan, Kabupaten Rembang. Di hari libur tak kurang dari 10 bus datang ke makam ini. Pada hari biasa, tetap ada peziarah mengunjungi makam, meski hanya beberapa orang. saja "Jangan tanya kalau Lebaran, bisa mencapai 30 bus. Mereka berziarah dan kadang kalau ada yang punya keluhan, lalu berdoa di sini," kata M. Sahit, juru kunci makam.
Di pintu masuk pengunjung disambut patung Kartini yang cukup besar. Makam Kartini terletak di dalam sebuah pendopo yang dibangun di atas lahan seluas 5 hektar. "Tanah ini milik Bapak Djojoadiningrat. Ada 43 makam di sini, makam Kartini bersebelahan dengan Soekarmilah Djojoadiningrat, istri pertama Djojoadiningrat," cerita Sahit yang sejak 1979 ditugaskan sebagai juru kunci.
Esok harinya rombongan mendatangi Pendopo Kabupaten Jepara, tempat Kartini menghabiskan masa kecilnya. Konon kabarnya, bangunan yang terletak di Alun Alun Jepara ini merupakan salah satu pendopo tertua, termegah, terluas yang masih digunakan di Indonesia. "Pendopo didirikan tahun 1785 oleh Adipati Citrosumo 3, kakek Kartini. Sampai kini bangunannya masih asli, begitu juga ukirannya asli Majapahit," jelas Windy Novia dari Dinas Pariwisata Kebudayaan Jepara.
Wendy mengisahkan, renovasi pertama dilakukan pada tahun 1980 menutup kayu-kayu yang sudah agak lapuk. Sementara lantai masih asli dari tanah liat yang dibakar. "Di dalam pendopo ada sekat bernama rono kaputren (putri) yang berlubang, dan yang gelap rono kaputran (putra). Ini merupakan garis terluar Kartini bisa ke luar dari pendopo."
Selain membatik dan melukis, Kartini juga mengangkat ukiran Jepara. Macan kurung merupakan potensi ukiran Jepara yang ditemukan Kartini. Ceritanya, di usia 9 tahun Kartini masih bisa merasakan udara kebebasan sebelum dipingit di usia 12 tahun. "Suatu hari Kartini jalan-jalan ke daerah pegunungan dan menemukan banyak pengukir. Mereka tidak berpendidikan tapi pandai sekali mengukir. Sayangnya, saat itu tak ada yang berani mengukir makhluk hidup karena takut kualat dan bisa mendatangkan malapetaka," tutur Windy.
Lalu, Kartini memberanikan diri meminta mereka mengukir hewan. "Kartini mengatakan sang bapaklah yang menyuruh. Jadi, kalau terjadi sesuatu menjadi tanggungan bapaknya. Setelah itu, banyak yang berani mengukir gajah, macan, dan hewan lain. Kartini pun menggambarkan lewat macan kurung, gambaran penguasa tapi dikurung balutan adat. Saat ulang tahun Ratu Wilhemina, Kartini mengirimkan macan kurung dalam ukuran kecil sebagai hadiah atau suvenir."
Beranjak ke ruangan lain, Sekolah Kartini yang diperuntukkan bagi pribumi perempuan pertama di Indonesia didirikan tiga serangkai Kartini, Kardinah, dan Rukmini. "Belajarnya tidak memakai kursi tapi lesehan. Murid Kartini berasal dari belakang tembok pendopo. "
Tak jauh dari pendopo terdapat Museum Kartini Jepara. Perjalanan cukup dilalui dengan berjalan kaki sambil menikmati suasana Kota Jepara. Tahun 1975 Museum Kartini dibangun. Di dalamnya terdiri dari empat ruangan. Ruangan pertama, berisi koleksi peninggalan Kartini berupa benda peninggalan dan foto semasa hidupnya.
Pasangan Bram dan Kumoratih yang mendirikan Gelar Nusantara mengatakan, "Tujuan dari cultural trip ini membina keberlanjutan seni dan budaya kota tujuan yang berakar dalam masyarakat. Sekaligus merangsang tumbuhnya ekonomi rakyat melalui sektor pariwisata," jelas Bram.
Noverita K. Waldan
KOMENTAR