Pvblic Affair
Konstruksi tradisional
Pvblic Affair (PA) idenya lahir sekitar tahun 2010. Namun, "Kami meluncurkan koleksi pertama sekitar Januari 2011," kata Sulung Koesuma (31) yang mendirikan PA bersama rekannya, Yenda (29). Sejak kuliah, Sulung memang sudah punya mimpi memiliki merek untuk alas kaki. "Saya besar di golden era sneakers. Jadi, semua dimulai dari love affair terhadap sneakers. Kebetulan, Yenda juga pencinta sepatu. Kami pun sepakat ber-partner membentuk PA."
Dari kata love affair itulah, Sulung dan Yenda menamakan produk mereka Pvblic Affair. "Affair itu, kan, sesuatu yang personal. Sementara public sifatnya umum dan luas." Penulisan kata "public" pun tidak memakai huruf u, tapi v. "Waktu saya bikin logo awal Pvblic Affair, saya lagi tergila-gila pada Yunani dan alfabet Yunani Kuno. Pas mendesain logo, ternyata pemakaian huruf v lebih menarik."
Sulung yang memiliki latar belakang di bidang desain dan Yenda di dunia marketing lantas menjadi tim yang solid. Di tangan mereka, PA menawarkan sepatu dengan konstruksi kuat. "Sepatu kami dibuat dengan salah satu konstruksi sepatu tradisional khusus pria, yaitu Goodyear Welted. Bagian muka dijahit dulu terpisah, baru digabung dengan layer terakhir. Di tengahnya, disisipi semacam campuran pasta dengan cork."
Namun karena bahan-bahan berkualitas masih didatangkan dari luar negeri, konsumen PA mesti membayar dengan harga sepadan, mulai dari Rp 1,3 juta hingga Rp 1,8 juta. "Kami ingin dihargai dari sisi karya dan ide. Makanya berani buat sepatu dengan konstruksi yang benar."
Kendati termasuk mahal, pasar PA bergerak cepat. "Koleksi kedua sudah berjalan hampir sebulan dan responsnya sangat baik," kata Sulung senang. Melihat konsumen memakai produk PA, diakui Sulung, menimbulkan rasa puas tersendiri. Prospek PA yang bersegmentasi pria juga sangat baik. "Peluang masih amat besar di fashion laki-laki."
Dari sekadar iseng, Agnes Tandia (23) coba-coba menangkap peluang bisnis. Perca kain batik ia sulap jadi sepatu cantik. Kegiatan ini ia tekuni saat kuliah tingkat tiga Kriya Tekstil Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. "Bermodal Rp 600 ribu awalnya saya bikin jaket batik untuk nambah uang saku." Saat dipakai ke kampus, jaket dua sisi yang bermotif batik dan polos langsung mencuri perhatian. Sisa perca batik dari pembuatan jaket itu lalu dipakai Agnes untuk membuat sepatu. Bingung melabelkan merek, nama Kulkith spontan tercetus. Nama ini berasal dari lafal cool kid. "Biar beda, ditulisnya begitu. Bahasa anak muda lah," ungkap Agnes yang menganggap nama Kulkith tak punya arti khusus.
Bukan tak sengaja Agnes menggunakan batik untuk karyanya. "Tiap kain punya arti dan filosofi tersendiri. Selain proses bikinnya susah dan lama, pemakaiannya juga ada aturannya. Lama-lama saya jatuh cinta," ujar anak sulung dari tiga bersaudara ini. "Jarang anak muda mau pakai batik tiap hari. Tapi, kalau muncul di model sepatu yang kasual, batik pun bisa dipakai sehari-hari," ucap mahasiswi S2 Fashion Digital ITB ini.
Ciri khas Kulkith adalah penggunaan kain batik tulis dan cap, bukan batik print karena mudah luntur. Model dan desainnya murni kreasi Agnes. Sepatu batik seri Greyscale, dengan model Lace Up Shoes adalah produksi pertamanya. "Sengaja dibuat eksklusif dan jumlahnya terbatas."
KOMENTAR