Bulan April lalu, Simon Donaldson (26) menjadi headline di surat kabar New Zealand Herald. Koran di Negeri Kiwi itu memuat foto Simon, penderita leukodystrophy, tengah dirantai di tempat tidur oleh sang bunda, Marisa Latinia (54). Leukodystrophy adalah penyakit yang disebabkan adanya kelainan pada saraf karena faktor genetik, dan epilepsi.
Foto itu juga menghebohkan dunia maya. "Mereka memberi kesan saya ibu yang kejam. Padahal, mereka tidak tahu duduk persoalan sebenarnya. Saya merantai Simon bukan sengaja memasung, tapi agar dia tidak dibawa lari bapaknya," ujar Marisa yang akrab disapa Risa.
Nada ungkapan Marisa mengisyaratkan hubungannya dengan ayah Simon yaitu David Donaldson (58) tidak harmonis. Marisa yang akrab disapa Risa memang sudah cerai dari David. Kisah tentang Simon juga melengkapi betapa peliknya hubungan mereka.
"David pertama kali datang ke Indonesia dalam keadaan tak punya apa-apa. Ia datang sebagai guru Bahasa Inggris. Karena dia tidak punya uang, Bapak menampung dia di rumah gratis. Syaratnya, dia mengajar Bahasa Inggris kepada 7 anak Bapak, termasuk saya," kisah Risa seraya mengatakan ayahnya cukup terpandang di Surabaya.
Witing tresna jalaran saka kulina, hubungan mereka kian akrab. David berhasil mengambil hati Risa. "Kami menikah selepas saya tamat SMA. Saya sempat diboyong ke Inggris. Saat itu, dia kerja di sebuah perusahaan pertambangan. Hidup kami pas-pasan," ujar Risa yang melahirkan anak pertama, Alexander Bramasto di Surabaya.
Seusai melahirkan, David kembali mengajak Risa tinggal ke luar negeri. Kali ini ke New Zealand, di kediaman keluarga David. Namun, tiap kali melahirkan, Risa selalu pulang ke Surabaya, sampai punya lima anak. "Semua biaya persalinannya dari orangtua saya!"
Singkat cerita, seiring waktu kondisi rumah tangga mereka tak bisa lagi dipertahankan. Dalam kesempatan terpisah, David Donaldson membenarkan retaknya hubungan mereka. David mengatakan, persoalannya dengan Marisa sebetulnya sudah berlangsung lama. David digugat cerai Marisa pada 1992. Alasannya, menurut David, Risa tidak senang karena David tak punya harta. Menjelang cerai, "Tiga bulan Risa pergi entah ke mana. Hakim datang ke rumah dan menanyai anak-anak, mau ikut siapa. Mungkin karena saya yang ada di rumah, mereka pilih saya."
Setelah melewati proses panjang, tahun 2011 mereka benar-benar resmi cerai. Selanjutnya, anak-anak ikut David. Cerai bukan berarti perseteruan pasangan ini selesai. Muara masalahnya adalah anak. Tujuh tahun lalu, cerita Risa, David membawa Simon dari Jakarta ke Surabaya. "Waktu itu keadaan Simon sudah tak berdaya. Selain tak bisa jalan, kadang dia juga kejang dan pingsan," kisah Risa.
Dokter memvonis Simon menderita leukodystrophy. "Karena dokter sudah memvonis Simon tak bisa sembuh, maka saya bawa dia ke ustaz. Sekarang perkembangannya bagus," tukas Risa.
Namun, David tidak setuju soal kondisi membaiknya Simon. Perlakuan Risa kepada Simon dinilainya berlebihan. "Dia dikurung di kamar setiap hari. Semua aktivitas termasuk makan, buang air, dan sebagainya di atas tempat tidur. Dia jadi sangat bergantung kepada ibunya. Kehidupan macam apa itu untuk seorang anak berusia 26 tahun?" ujar David yang tak pernah mendapat jawaban jelas dari Risa soal pengobatan alternatif yang diberikannya kepada Simon.
"Setelah tiga bulan di Surabaya, kondisi Simon tak juga membaik. Mau saya bawa pulang ke Jakarta, eh Risa malah minta uang Rp 75 juta buat pengobatan Simon. Risa juga menolak menyerahkan Simon dengan alasan bisa menyembuhkannya. Saya bilang pada Simon, meski tak bisa sembuh, dia tetap bisa hidup mandiri."
Seingat David, Simon pernah sekolah di Australian International School di Jakarta. "Dia bisa berenang, ke toilet sendiri, dan bermain bersama teman-teman sebayanya. Saya harap Risa mengesampingkan masalahnya dengan saya dan melatih agar Simon bisa mandiri. Kami sudah tua, tidak akan selamanya hidup," papar David sambil menjelaskan, Simon dan Robin, anak keduanya, menderita sakit yang sama, yaitu leukodystrophy.
Menurut David, Robin diterapi dan dibawa ke New Zealand. "Kondisinya membaik. Dia bisa bekerja, tinggal di rumah sendiri, dan bisa menyetir mobil yang memang khusus dibuat untuk penderita penyakit ini. Dia sempat melemah kondisinya, tapi setelah menjalani pengobatan sekarang sudah membaik," jelas David.
Pengobatan di New Zealand seperti Robin inilah yang diinginkan David untuk Simon. Namun ia merasa sulit membawa anaknya. Padahal, izin tinggal Simon yang warga negara New Zealand di Indonesia, sudah kedaluwarsa alias overstay. Berbekal alasan itulah, April lalu David ditemani pihak imigrasi Surabaya, datang ke rumah Marisa untuk menjemput Simon. "Saya ingin Simon diambil paksa oleh petugas imigrasi," ujar David.
Namun ketika sampai di rumah Risa di Trenggilis Mejoyo, Surabaya, David dan rombongannya tak diperbolehkan masuk oleh Risa. Setelah berdiskusi alot, Risa akhirnya memperbolehkan petugas Departemen Kehakiman untuk menengok Simon. Saat itu Simon berada di kamar dengan kaki terborgol di tempat tidur. "Dalam keadaan kaki terborgol itulah, petugas imigrasi memotret Simon. Selanjutnya, entah bagaimana, foto itu sampai ke media New Zealand," tukas Risa.
Hasil dari pertemuan hari itu, sebut Risa, David memang tak berhasil membawa pergi Simon. Bahkan, petugas imigrasi memutuskan memberi waktu lima bulan lagi bagi Risa untuk merawat Simon. Ini membuat David berang. "Saya yakin setelah lima bulan, dia tetap tidak akan menyerahkan Simon kepada saya. Ini bukan pertama kalinya dia minta waktu lima bulan. Saya tidak mengerti kenapa imigrasi tidak mengabulkan permintaan saya untuk mendeportasi Simon," ucap David.
David tetap bersikeras membawa Simon ke New Zealand untuk diterapi, sedangkan Risa pun tak mau menyerahkan Simon. "Sampai kapan pun saya tidak akan menyerahkan anak saya," ujar Risa yang sudah mulai berunding dengan pengacaranya untuk menetapkan nominal yang harus dibayarkan David atas tindakan penelantaran dan pencemaran nama baik. "Saya berencana minta Rp 1 Trilyun."
Tampaknya, akhir kisah perseteruan Risa-David masih perlu waktu beberapa episode lagi...
Gandhi Wasono, Hasuna Daylailatu
KOMENTAR