Tugas tim Disaster Victim Identification (DVI) memang sangat berat. Dari 37 kantong jenazah yang terkumpul di RS Polri hingga Kamis (17/5), 32 kantong di antaranya berisi potongan jenazah tak utuh. "Anda tahulah kalau pesawat meledak dan menabrak dalam kecepatan tinggi," ujar dr. Nugroho, salah satu tim forensik DVI.
Toh, semua itu tak menyurutkan semangat para ahli untuk melakukan proses identifikasi korban. "Kami menggunakan sistem primer dan sekunder," jelas Nugroho. Primer berarti menggunakan sidik jari, data gigi geligi, dan DNA, sementara sekunder melalui properti dan fisik.
Ratusan properti korban yang sudah terkumpul kini tengah didata dan difoto tim forensik. "Ada dua jenis properti. Pertama, yang melekat pada tubuh korban, dan kedua yang berserakan," sebut Kepala RS Polri Soekanto, Brigadir Jenderal Polisi Agus Priyatno. Masing-masing memiliki makna berbeda. "Dompet yang ditemukan di saku celana jenazah korban, misalnya, tentu berbeda makna dengan dompet yang tercecer di tempat kejadian." Semua properti itu kelak akan dikembalikan ke keluarga korban.
Kelak, setelah proses identifikasi seluruh potongan tubuh korban rampung, tim DVI akan melanjutkan dengan proses rekonstruksi. Proses ini ibarat menyatukan kepingan-kepingan puzzle menjadi sebuah gambar lengkap. "Usai itu, kami beri pilihan kepada keluarga korban apakah mereka ingin melihat kondisi tubuh korban atau tidak? Kalau tidak mau, ya, peti jenazah langsung kami tutup."
Yang pasti, sambung Agus, proses rekonstruksi akan makan waktu selama proses identifikasi. Tim yang terdiri dari para ahli dari berbagai disiplin ilmu ini menempati berbagai ruangan di RS Polri untuk tidur sejenak. Yang memiliki rumah atau sanak keluarga dengan jarak relatif dekat dengan RS Polri, memilih untuk pulang pergi setiap hari, sementara tim dari Rusia yang tiba Rabu (16/5) malam di Jakarta, menginap di hotel. Entah sampai kapan mereka harus bekerja keras. "Selama masih ada kiriman dari tim evakuasi, selama itu juga kami bekerja. Kami tunggu sampai potongan terakhir dikirim," ujar Agus. Tak hanya tim yang 24 jam siaga, "Laboratorium kami juga buka 24 jam, tujuh hari nonstop!"
Kerja berat serupa pernah dilakoni Dr. Djaja Surya Atmadja, SpF, PhD, SH, DFM, spesialis forensik dan ahli DNA forensik dari FKUI/RSCM, saat tragedi Bom Bali II tahun 2005. Dari 200 jasad korban, "Sebagian dalam kondisi hancur berantakan dan gosong terbakar. Dari jumlah itu, 80 persen identifikasi selesai dalam satu bulan tapi perlu waktu sampai enam bulan sampai benar-benar tuntas," katanya sambil menambahkan, kala itu timnya dibantu oleh tim forensik dari 26 negara. "Makanya fasilitasnya juga sangat lengkap."
Dari pengalaman Djaja, kepastian identitas korban mayoritas disumbang oleh identifikasi gigi, yaitu sebesar 60 persen, disusul uji DNA (Deoxyribonucleic Acid) sebesar 30 persen, dan sidik jari sebesar 10 persen. "Uji DNA memang bisa selesai dalam hitungan hari tapi pencocokannya yang lama."
Sementara untuk rekonstruksi, Djaja menyebut lebih mudah jika bagian tengkorak atau tulangnya masih utuh. "Cara pertama dengan sejenis lilin khusus yang direkatkan pada tulang dan membentuk rekaan wajah korban. Kedua, wajah korban difoto dan direkonstruksi dengan komputer melalu metode superimposisi."
Langkah terakhir sebelum diserahkan kepada keluarga, dokter akan berusaha menyatukan potongan-potongan besar jenazah dengan menjahitnya. "Untuk serpihan atau potongan kecil biasanya dibungkus tersendiri dan ditaruh di sampingnya. Bagi yang beragama muslim akan diberi kamper dan cendana lalu dibungkus kain kafan dan dimasukkan ke dalam peti." Sisa serpihan kecil lain yang tak teridentifikasi, lanjur Djaja, biasanya akan disatukan. "Atas perintah Ketua DVI, sisa itu bisa saja dikremasi." Setelah seluruh proses tuntas, dokter membuat surat kematian hingga jenazah dapat diserahkan kepada keluarga korban.
Ade, Ajeng, Hasuna
KOMENTAR