Nama Teater Tari Sahita di jagat seni hiburan akhir-akhir ini semakin santer terdengar. Baik di layar teve maupun berbagai panggung kesenian, termasuk pentas di Jakarta. Sahita sudah hadir di panggung pentas seni di Solo dan sekitarnya sejak 22 Juni 2001. Uniknya, mereka populer justru bukan karena tampil cantik, tapi berdandan ala nenek-nenek.
Ketika mereka tampil dengan wajah aslinya, jarang sekali yang mengenali, termasuk tetangga dekat. "Mereka baru mengenali bila kami sudah buka suara," terang Inong, Cempluk, Thing Thong, dan Atik, senada. Sejak awal, Sahita memang berdandan ala nenek-nenek. Apa alasannya? "Kalau penari identik dengan wajah cantik, tubuh molek, bagaimana nasib penari yang belum tentu cantik? Atau bagaimana dengan mantan penari kelak bila mereka sudah tua?" ujar Inong.
Berangkat dari pemikiran itulah tercipta tarian bertitel Srimpi Srimpet, sebuah karya yang terilhami Serat Kalatidha karya pujangga besar Raden Ngabehi Ranggawarsita. Tarian ini, ujar Inong, bisa ditarikan oleh siapa saja yang tak masuk dalam kriteria penari pada umumnya.
Karya Sahita lainnya adalah Srimpi Ketawang Lima Ganep, Pangkur Brujul, Iber-Iber Tledek Barangan, Gathik Glinding, Seba Sewaka. Karya-karya tari ini rata-rata berdurasi 1 jam. Sudah dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Jakarta, Solo, dan Jogja. Karya-karya tersebut berkonsep perpaduan antara teater dan tari. "Semua karya Sahita ini milik bersama karena ide dasarnya juga bersama."
"Setelah berembuk, kami mendirikan Sahita. Semula ada Atma tapi karena studi S2-nya sudah selesai, dia pulang ke daerahnya. Lalu masuk Hartuk. Ketika kami butuh tampil berlima, kami mengajak Thing Thong. Ternyata Hartuk di kemudian hari juga sibuk dengan Teater Sarotama. Dia pun izin tidak aktif. Sekarang tinggal kami berempat," jelas Inong yang bernama asli Wahyu Widayati.
Penikmat karya Sahita mulai dari pencinta seni murni hingga masyarakat biasa yang mengundangnya untuk peringatan weton (hari lahir Jawa) hingga memeriahkan pesta perkawinan. "Ada cerita lucu saat kami diundang ke acara perkawinan. Si pengantin pria sengaja membuat surprise tidak memberitahukan keluarganya. Nah, ketika MC bersiap mengundang kesenian yang dimaksud, kami sengaja duduk-duduk di depan pintu masuk. Eh, kami diusir. Katanya untuk lewat para penari. Begitulah, begitu nama Sahita disebut MC, kami lantas menari. Semua yang hadir merasa surprise."
Pernah juga, Sahita mengalami "kecelakaan" menjelang pementasan di Sukolilo. Menurut Inong, kala itu, Sahita hendak membawakan karya Iber-Iber Ledhekan, namun lupa tidak membawa kebaya. "Kami lalu pinjam daster kepada warga yang sudah tua. Daster itu kami sobek-sobek. Selanjutnya kami pakai "ilmu dapur" alias mencari arang ke dapur untuk make-up. Jadilah hari itu kami ke luar dapur seperti orang habis kejeblugan arang dan abu dapur. Ha ha ha..."
Secara ekonomi, Sahita mengaku belum merasakan efek ketenaran." Yang mengundang kami dari berbagai lapisan masyarakat. Itu yang membuat kami harus empan papan soal bayaran. Pentas di Solo kami anggap "mencangkul" dan di luar kota itu lahan rezeki kami," terang Atik yang kini meminta salah satu manajemen di Jakarta untuk mengelola pekerjaan Sahita.
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR