Untuk memudahkan proses identifikasi korban penumpang pesawat Sukhoi Super Jet (SSJ) 100 yang jatuh di kawasan Gunung Salak pada Rabu (9/5) sore, pihak Disaster Victim Indonesia (DVI) meminta keluarga korban untuk ikut terlibat aktif. "Diperlukan data sidik jari, data gigi, catatan properti, misalnya barang-barang atau baju yang dipakai korban saat kejadian," ujar Kombes Pol Anton Castilani, Direktur Eksekutif Komite DVI.
DVI juga meminta keluarga memberikan data DNA (Deoxyribo Nucleic Acid). "Kami perlu keluarga terdekat korban seperti anak, saudara kandung atau orangtua korban." Sampel DNA diambil dari cairan yang ada di rongga mulut anggota keluarga.
Dengan data tersebut, Anton memastikan, meski kondisi jenazah korban yang ditemukan nantinya tidak dalam keadaan utuh, "Jenazah masih dapat diidentifikasi. Biar tinggal secuil ujung jari pun, tetap bisa kami identifikasi," janjinya.
Dalam kasus kecelakaan ini, identifikasi dengan tes DNA memang dianggap yang terbaik. Pasalnya, hingga kini kondisi utuh-tidaknya jenazah korban masih belum jelas. Apalagi, pola DNA seseorang tidak akan berubah oleh makanan, obat-obatan, umur, maupun gaya hidup. "Identifikasi dengan DNA, bila dikerjakan dengan benar akan 100 persen akurat." Umumnya hasil tes DNA selesai dalam 12 hari kerja, terhitung dari tanggal diterimanya sampel.
Mengenai teknis proses identifikasi, Anton enggan menjelaskan lebih detail. "Proses identifikasinya akan dilakukan di RS Polri Kramat Jati," ujarnya singkat.
Meski kita tak pernah berharap dapat musibah, toh tak ada salahnya "bersiap" menghadapinya. Salah satunya dengan memiliki sekaligus menyimpan rekam kesehatan. "Penting sekali! Bahkan seharusnya sejak lahir sudah memilikinya," kata dr. Handrawan Nadesul.
Data medis tersebut, terang Handrawan, berisi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pengobatan serta hasilnya, rontgen, rekam jantung, dan banyak lagi. "Sayangnya di Indonesia masih banyak yang menganggap tidak penting. Kalau di luar negeri, umumnya orang sudah memilikinya."
Selain menganggap tidak penting, masyarakat Indonesia juga dinilai Handrawan tidak tertib memeriksakan kesehatan. "Kebanyakan, kan, tidak punya dokter keluarga dan berobat ke mana-mana, bukan di satu dokter saja. Nah, seharusnya tiap orang punya 'paspor kesehatan' yang bisa dibawa ke mana-mana."
Paspor tersebut berisi rekam medis yang bisa disimpan di tas atau dompet. "Paspor itu menjadi sangat penting, apalagi bagi yang memiliki pemyakit berbahaya seperti kencing manis atau jantung. Ketika mereka mengalami kecelakaan atau pingsan di jalan, umpamanya, begitu melihat paspor tersebut, bisa langsung dilakukan pencegahan, semisal tidak boleh diberi makanan tertentu."
Begitu juga ketika seseorang mengalami kecelakaan seperti yang dialami penumpang pesawat Sukhoi. "Sebenarnya ada cara yang lebih sederhana dibanding tes DNA. Tapi itu mungkin prosedur yang harus diikuti."
KOMENTAR