Hari-hari terasa begitu panjang bagi mereka. Dalam ketidakpastian, mereka senantiasa mendoakan keselamatan dan berharap terjadi mukjizat. Namun Jumat (11/5) sore itu, tangis pun pecah kala mereka melihat teve yang menayangkan evakuasi 12 jenazah di evakuasi tahap pertama. Sebagian keluarga korban lainnya hanya diam terpaku melihat tayangan yang seakan memupus harapan mereka untuk bertemu dengan orang tercinta yang menumpang Sukhoi dalam keadaan selamat dan hidup.
Sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, Hj. Murni terus menangis. Sementara sang suami, H. Sikrun Hadi Sunarto, terus berusaha menguatkannya. Ayah dan ibu dari Ismi Sunarto, wartawan Trans TV yang turut menjadi korban Sukhoi ini, terlihat amat terpukul. "Jam 10.00 dia telepon minta didoakan agar selamat. Ismi juga SMS beberapa kali ke Ibu," kata Jono, kakak sepupu Ismi yang ikut mendampingi keluarga.
Enam bulan terakhir ini, kata Jono, Ismi kos di Jakarta, bekerja jadi jurnalis. "Dia baru diwisuda Desember lalu. Kami semua kaget dengar berita ini." Menjadi wartawan adalah cita-cita Ismi. "Liputan di udara menaiki pesawat juga merupakan pengalaman pertama Ismi."
Dandan Cantik
Menanti di tengah ketidakpastian memang bukan hal menyenangkan. Tak heran jika ada sejumlah keluarga korban tak kuasa menyimpan rasa kesal dan kecewa. "Semestinya ada media center, di mana tiap keluarga bisa menanyakan perkembangan terakhir. Kami bingung karena berita evakuasi korban, simpang siur," keluh Uneng dan Ellen, adik dan kakak dari Edo alias Edward Panggabean, karyawan Indo Asia yang ikut dalam joy flight itu.
Istri dan kedua anak Edo hanya bisa pasrah menunggu di rumah karena kondisinya terlampau syok. "Mereka, terutama kedua anaknya, berharap sang ayah pulang dalam keadaan selamat." Terakhir, Edo sempat mengirimkan foto bersama pramugari di depan pesawat Sukhoi.
Kekecewaan yang sama juga disampaikan salah seorang sepupu Rully Darmawan, rekan sekerja Edo. "Harusnya mereka fokus pada korban," ujarnya menyayangkan.
Reaksi berbeda disampaikan Danang, kerabat Maria Marcella Dayu (46) atau Celly, koordinator pramugari Perusahaan Penerbangan SKY Aviation yang ikut dalam penerbangan itu. Keluarga besarnya, kata Danang, "Mengikhlaskan semua dan enggan menyalahkan pihak mana pun. Kami paham risiko penerbangan dan mengerti kendala apa yang terjadi di udara. Berita negatif apa pun, kami percaya pada kerja keras Basarnas," ujar Danang. Yang penting, lanjutnya, "Percaya saja, tenang, ikhlas." Terlebih, "Selama tiga generasi, kami berasal dari keluarga penerbang. Ada yang jadi pilot dan pramugari. Keluarga sudah ikhlas menerima musibah. Ini sudah risiko pekerjaan,"
Danang yang mewakili keluarga besar Celly hanya berharap "Tante Celly bisa cepat ditemukan dan jenazahnya segera tiba di sini." Sejak tiga tahun terakhir, kisah Danang, sang bibi yang memiliki dua anak itu bekerja di Sky Aviation. "Sebelumnya, selama 15 tahun Tante jadi pramugari di Garuda Indonesia."
Danang pula yang pertama kali merasa tak enak saat membaca berita sore di portal berita tentang hilangnya pesawat Sukhoi yang lepas landas dari Halim. Ia langsung menelepon ke tiga nomor telepon genggam Celly, namun tak satu pun berhasil tersambung. Saat bertanya kepada Petrus Susaptadi, suami Celly, "Om juga tak tahu Tante mau terbang. Dia hanya bilang, saat pagi berangkat kerja, Tante Celly dandan cantik sekali. Tidak ada firasat lain apa pun."
Suasana duka juga menyelimuti Gedung Gramedia Majalah di Jalan Panjang No 8A, Jakarta Barat, tempat Didik Nur Yusuf dan Dody Aviantara sehari-hari berkantor. Keduanya adalah wartawan foto dan wartawan tulis Majalah Angkasa, majalah tentang kedirgantaraan milik Gramedia Majalah. Didik dan Dody dikenal sebagai sosok menyenangkan dan gemar berkawan. Tak heran jika para rekan dan sahabatnya merasa sangat kehilangan.
Perasaan kehilangan itu juga pastinya dialami Ela (38), istri Didik. Sempat beberapa kali pingsan, Ela tak berhenti salat, berdoa, dan mengaji. Ia khusuk meminta kepada Yang Kuasa agar sang belahan jiwa ditemukan dalam keadaan selamat.
Namun kenyataan berkata lain. Yang kini tersisa hanyalah kenangan. Semua berkelebat di benak Ela. "Beberapa bulan lalu dia sempat terjatuh dari sepeda karena menabrak polisi tidur. Sementara saya panik melihatnya, dia tampak tenang. Dia memang selalu tenang menghadapi sesuatu. Katanya, jangan panik, biasa sajalah."
Didik, bagi Ela, adalah suami yang selalu ingin menyenangkan keluarganya. "Selama tiga minggu kemarin, saya merasa sangat ditemani lebih dari biasanya. Biasanya dia banyak kegiatan, berangkat jam 09.00 dan pulang jam 19.00. Kadang saya suka kasihan melihatnya. Begitu ada waktu banyak buat keluarga, bukan main senangnya."
Pagi itu, kisah Ela, Didik memang sempat selintas bilang akan pergi liputan ke Halim Perdanakusuma. Namun tak menerangkan untuk apa. "Saya mulai curiga waktu ada telepon menanyakan keberadaan Mas Didik. Tapi bertanyanya hati-hati banget, seperti takut saya syok. Barulah ketika keponakan memberitahu pesawat yang ditumpangi Mas Didik dinyatakan hilang, saya mulai resah. Saya coba telepon ke dia, tapi sudah tidak bisa. Apalagi ketika telepon di rumah mulai berdering, saya sudah lemas dan tidak kuat lagi."
Didik yang sayang keluarga, juga dikenal periang. "Suka ngebanyol," kenang Nunung Nur Azizah (48), sang kakak yang memanggil Didik dengan sebutan Pakdot ini. "Rencananya Pakdot mau mengajak kami sekeluarga liburan ke Puncak. Sayang belum terlaksana."
Nunung yakin, sebenarnya sang adik tidak ingin terbang. "Tapi mungkin melihat keberhasilan penerbangan pertama, akhirnya dia terbang juga. Mungkin karena didorong rasa ingin tahu."
Tak kuat melanjutkan pembicaraan, adik Dody, Andri Rudiantara (37) mengambil alih. "Mohon maaf, setiap kali diajak mengobrol, dia pasti tak kuat menahan sedih," tutur Andri.
Dody dan Andri berbagi kesenangan yang sama terhadap pesawat. Maklum, dulu ayah mereka bekerja di Angkatan Udara. Sejak kecil, mereka sudah tergila-gila pada pesawat. Beranjak dewasa, Dody banyak mencoba pesawat baru lantaran pekerjaannya di Majalah Angkasa. "Mas Dody pernah mengajak saya naik pesawat baru tapi tak jadi karena zaman itu belum ada telepon genggam, jadi saya tidak bisa dihubungi."
Kontak terakhir dengan Dody, kata Andri, berlangsung sehari sebelum kejadian. "Dia tanya, apa betul saya sudah punya mobil baru. Saat itu dia juga tidak cerita mau naik Sukhoi yang baru. Kalaupun ada firasat, Mas Dody sudah menitipkan anak-anaknya, Eya (4) dan Vito (1), ke Mama."
Nestapa Ela dan Tetty adalah juga nestapa kami, rekan-rekan sekerjanya di Gedung Gramedia Majalah. Selamat jalan, kawan...
Tim NOVA, Nove / bersambung
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR