Bagaimana Anda mengawali usaha ini?
Awalnya saya merasakan diskriminasi bagi penyandang cacat dalam hal mencari kerja. Saya yang sudah melamar kerja ke berbagai perusahaan selalu ditolak. Makanya saya kemudian berinisiatif menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.
Mengapa terpikir membuka usaha konvenksi?
Saya lihat di lingkungan sekitar saya tinggal, waktu itu di Semarang, banyak sampah kain. Saya lalu belajar menjahit secara otodidak. Awalnya saya buka usaha jahitan biasa, tapi karena tidak laku saya banting setir membuat kreasi seni perca. Saya pakai kain perca sisa limbah pabrik konveksi. Daripada dibakar dan jadi pencemaran, saya bilang ke pemilik pabrik untuk minta sisa-sisa kain itu. Awalnya dikasih secara cuma-cuma, tapi setelah tahu kainnya saya kreasikan dan laku dijual, lantas harus beli. Ha ha ha...
Karena saat itu saya baru lulus SMA, saya kemudian masuk sekolah khusus bagi penyandang cacat di Rehabililtas Centrum (RC), Solo. Sekolah itu khusus untuk anak-anak penyandang cacat se-Indonesia. Di sana, saya bertemu Agus Priyanto (35) yang sekarang jadi suami saya. Kami menikah setelah sama-sama lulus dari RC. Kami berdua membuka usaha kerajinan kain untuk keset pada tahun 1996.
Berapa modal awalnya?
Waktu itu kami hanya punya Rp 50 ribu, itu pun dapat bantuan dari Dinas Sosial. Kami membuat keset seharga Rp 1.500. Saat itu harga kain masih Rp 250, jadi dapat bahan baku lumayan banyak. Kalau tidak salah, kami bisa memproduksi sekitar 500 buah keset bentuk oval, kotak, dan bundar. Ternyata banyak permintaan, sehingga barang langsung ludes.
Karena permintaan makin banyak, kami yang awalnya mengerjakan semua berdua akhirnya mengajak teman-teman sesama penyandang cacat untuk membantu. Tahun 2000-an, pekerja kami sudah ada sekitar 30 orang, semuanya penyandang cacat. Tapi sayang, tahun 2002 tempat yang kami pakai bekerja kebakaran. Kios yang sekaligus rumah kami rata dengan tanah. Ditambah lagi, modal kami dibawa kabur oleh orang kepercayaan. Bisnis kami pun kolaps. Semua habis.
Setelah kebakaran itu kondisi kami bernar-benar minim, bahkan banyak utang karena banyak barang-barang pinjaman yang terlalap api. Saat itu suami, kan, membuka servis alat elektronika. Semua barang seperti tape, radio, dan teve adalah milik sales yang harus kami ganti. Kepada pemilik barang yang kami pinjami, saya minta tenggang waktu pembayaran. Pokoknya, pas sudah ada uang baru saya ganti.
Sekitar setahun saya sudah bisa melunasi semua utang, meskipun hidup jadi penuh penderitaan karena dikejar-kejar para pemberi utang. Bayangkan saja, tabungan kami pun habis hanya untuk bayar utang. Uang cash kami yang berada di toko sudah hangus semua. Untuk makan saja tidak ada.
Kemudian?
Saya dan suami memutuskan pulang ke kampung suami di Kebumen. Di sana, kami minta bantuan ke Bupati Kebumen saat itu, Rustriningsih. Saya presentasi di hadapan beliau soal cita-cita saya untuk membentuk kelompok usaha pembuatan keset bagi penyandang cacat di setiap kota.
Beliau kemudian membantu mengumpulkan kembali teman-teman penyandang cacat dari 26 kecamatan di Kebumen, masing-masing kecamatan mengirim 5 orang. Tentu saja semua itu tidak berjalan semulus bayangan saya. Dari tahun 2002 hingga 2007 saya mengalami banyak jatuh bangun dalam usaha.
Di Kebumen, antara kota dan desa sama saja penjualannya. Jadi saya putuskan membuka usaha di desa saja. Kami buka bisnis dengan cara kemitraan. Karena karyawan kami rumahnya jauh-jauh, jadi pekerjaan dibawa ke rumah mereka. Setelah jadi, baru kami ambil. Biasanya kalau mereka ambil 1 kilo kain bisa jadi 5 keset. Buat karyawan, dengan 1 kilo kain itu mereka bisa ambil untung total Rp 17.500. Kalau kesetnya bermotif, per kilo bisa untung hingga Rp 30 ribu.
Pemasarannya bagaimana?
Waktu pertama kali usaha ini berjalan, ya, sengsara banget. Setiap saya dan suami datang ke toko-toko untuk menawarkan barang, selalu ditolak. Tapi sekarang, sih, sudah jarang memasarkan lewat toko karena sudah ada staf marketing yang memasarkannya.
Sampai saat ini kami sudah bisa mengekspor keset hingga ke Australia setiap tiga bulan sekali dengan harga Ro 25-50 ribu per keset. Untuk pasar lokal, sebulan dua kali kami kirim ke Pasar Tanah Abang dengan harga mulai Rp 4 ribu. Satu bulan permintaannya sudah 100 ribu keset. Nah, kadang-kadang kami tidak bisa memenuhi permintaan karena kurang barang. Perajin kami, kan, tidak seperti pabrik. Rata-rata mereka memiliki pekerjaan sambilan.
Untuk menambah karyawan, setiap ada masa libur saya melatih ke beberapa desa dan kota. Itu pun tidak semua peserta pelatihan memiliki komitmen. Dari 20 orang, paling hanya beberapa orang saja yang mau rutin bekerja. Kami juga tidak ada kualifikasi untuk mutu barang. Biarpun hasilnya jelek tetap kami terima sambil kami latih terus. Sebenarnya menjahit untuk membuat keset itu mudah, lho. Kelihatannya saja rumit. Rata-rata, 2 jam belajar sudah bisa, kok.
Siswanto / bersambung
KOMENTAR