Salah satu sekolah kejuruan yang menjadi favorit masyarakat Bantul, Yogyakarta, adalah SMKN I Bantul yang berlokasi di Desa Pulutan, Sewon. SMK ini memiliki tiga jurusan yang bisa dipilih calon siswa, yakni Akomodasi Perhotelan yang mencakup restoran/tata boga (Jasa Boga dan Patiseri), Tata Busana (busana butik), dan Tata Kecantikan (tata kecantikan rambut dan kulit).
Untuk bisa masuk ke sekolah kejuruan ini, calon siswa harus sudah mempunyai minat sejak awal yang akan dibuktikan dengan tes minat dan bakat di awal penerimaan siswa baru. "Tapi bila sudah diterima jadi siswa, lalu di tengah jalan ternyata ketertarikan pada jurusan lain lebih besar, bisa pindah jurusan," terang Kepala SMKN I Bantul, Dra. Sudaryati.
Saat ini, lembaga yang dipimpinnya sejak April 2010 itu memiliki empat kelas untuk jurusan Tata Busana, dua kelas Tata Boga, dan dua kelas Akomodasi Perhotelan. Masing-masing kelas berjumlah 36 siswa. "Dari tahun ke tahun minat siswa masuk ke sekolah kami makin meningkat. Rata-rata berasal dari kalangan menengah."
SMK, lanjut Sudaryati, prinsipnya memang menyiapkan anak-anak menjadi tenaga terampil yang siap bekerja. Baik itu membuka usaha sendiri ataupun bekerja pada perusahaan. "Kami sudah menggandeng 102 perusahaan untuk bekerjasama dalam hal kegiatan Praktik Kerja Industri (Prakerin) yang dituangkan dalam MOU. Selama tiga tahun belajar, paling tidak 200 jam atau 3 bulan dihabiskan untuk Prakerin atau PKL."
Meski telah lulus, SMKN I Sewon tetap memantau alumninya, terutama sampai seberapa jauh "laku" di dunia kerja. Minimal enam bulan pertama penelusuran dilakukan. "Rata-rata 65 persen lulusan telah bekerja. Setelah sekitar setahun, lulusan jurusan tata kecantikan 95 persen sudah dapat pekerjaan. Ada yang mendirikan salon atau spa, dari jurusan perhotelan 85 persen sudah bekerja, biasanya di Batam atau Malaysia."
Bukan hanya mantan siswa yang memesan tenaga kerja dari SMKN I Sewon. Sejumlah perusahaan yang menjalin MOU dengan sekolah tersebut tiap tahun juga menerima anak didiknya yang berminat kerja. "Kami punya tim Bursa Kerja Khusus (BKK) yang terdiri dari guru BP. Merekalah yang "memasarkan" calon-calon lulusan kami setiap tahun ke berbagai perusahaan yang menjalin MOU dengan kami," jelas Sudaryati seraya mengatakan, sejak 2010 lembaganya sudah meraih Certifikat ISO 9001:2008. "Artinya siapa pun Kepala Sekolah dan manajemenenya, aturannya sudah sama."
Bagaimana dengan prestasi?" SMKN I Sewon selalu menjuarai lomba kompetensi siswa. Ini lomba bergengsi untuk mengetahui sejauh mana sekolah itu memiliki eksistensi. "Dari lima yang diujikan kami selalu juara di tiga kategori, yakni, Tata Kecantikan Kulit, Pastri, dan Ukrey (menyiapkan satu set makanan)."
Jangan Asal Instan
Fenomena munculnya banyak sekolah kejuruan belakangan ini rupanya sudah didesain oleh pemerintah lewat Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Pendidikan Nasional 2005 - 2009 tentang perubahan orientasi pendidikan dari SMU ke SMK.
"Sebelumnya komposisi pendidikan 70 persen SMA dan 30 persen sekolah kejuruan. Setelah Renstra perbandingannya dibalik, 70 persen sekolah kejuruan dan sisanya sekolah umum," kata Darmaningtyas, pengamat pendidikan.
Kondisi masyarakat Indonesia, tambah Darmaningtyas, lebih tepat dengan perubahan itu. Pasalnya, jika dilihat dari kurva, masyarakat Indonesia yang masuk golongan miskin 60 persen, sementara yang menengah 40 persen. "Nah yang masuk golongan masyarakat miskin ini lebih pas masuk SMK. Sementara yang 40 persen bisa melanjutkan ke perguruan tinggi (PT) karena kemungkinan mampu melanjutkan ke universitas."
Kendati demikian, berdasarkan pengamatan Darmaningtyas, dibandingkan lulusan SMU para pekerja jebolan SMK ini kariernya kalah setelah masuk dunia kerja. "Biasanya lulusan SMK akan terus di bidangnya sebagai operator. Sementara yang lulusan SMU bisa naik. Misalnya dari bagian kemasan lalu naik ke pemasaran."
Para pekerja jebolan SMU juga lebih terbuka peluangnya melanjutkan ke PT karena biayanya lebih murah. "Beda jika lulusan sekolah kejuruan melanjutkan ke universitas. Bandingkan saja, biaya Fakultas Teknik tentu akan lebih besar dibanding Fakultas Ekonomi."
Meski saat ini sudah banyak sekolah kejuruan, tapi pilihan jurusan kebanyakan masih instan yang dibuka dengan pertimbangan sedang tren. Misalnya, STP Pembangunan yang sangat laris di tahun 70-an, karena memang saat itu Indonesia sedang giat-giatnya membangun. "Sekarang? Ya, jadi kurang laku dan diminati."
Padahal, menurut Darmaningtyas, harusnya sekolah kejuruan mengembangkan pendidikan yang jangka panjang. Membuka jurusan yang diperlukan sepanjang masa. "Kenapa, misalnya, tidak ada yang mengembangkan pembungkus dari bahan alami untuk mengganti plastik? Padahal, kebutuhan pembungkus ini akan terus digunakan sepanjang waktu." Apalagi, wilayah Indonesia juga memungkinkan membuka jurusan itu. "Di kampung, kan, masih banyak daun pisang atau jati yang lebar-lebar. Harusnya bahan-bahan alami itu bisa diproses menjadi pembungkus yang awet dan ramah lingkungan."
Begitu pula jurusan agronomi yang meliputi pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan seharusnya lebih ditingkatkan. "Makin ke depan, penduduk makin banyak. Kebutuhan pangan makin meningkat. Jika itu bisa dipenuhi, bukan hanya sekolah kejuruan yang berkembang, Indonesia pun bisa berswasembada pangan."
Darmaningtyas juga memprediksi, kebutuhan teknisi mesin khusus, seperti pesawat terbang, kapal, dan kereta api juga akan terus dibutuhkan. "Makanya perlu dibuka lebar-lebar jurusan tersebut, sehingga investasi yang ditanam tidak sia-sia." Kebutuhan tenaga ahli kelautan, kata Darmaningtyas, juga akan terus diserap pasar.
Rini Sulistyati, Sukrisna
KOMENTAR