Di abad ke-16, pedagang dan kaum misionaris dari Portugis tiba di daerah ini dan memberi nama yang sungguh indah, Cabo de Flores. Dalam Bahasa Portugis, artinya 'tanjung bunga'. Hingga kini pengaruh Portugis meninggalkan jejak yang cukup kuat dalam bahasa, budaya, dan agama penduduk Flores.
Ragam budaya Portugis yang kemudian berasimilasi dengan budaya Indonesia ini dipamerkan dalam Pekan Pesona Flores (PPF) 2012 yang digelar pada 17-21 Februari lalu. Acara yang baru pertama kali digelar ini diselenggarakan oleh Keuskupan Maumere, bekerjasama dengan Yayasan Arek Lintang, Efapa (Empowerment For Archipelago People Alliance), Komunitas Sahabat Flores serta Perkumpulan Usaha Katolik yang mengangkat tema Maumere In Love.
Cuaca panas menyambut kami di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka. Kota terbesar dan pintu gerbang lalu lintas barang di wilayah timur Flores ini pernah diguncang tsunami dahsyat di tahun 1992. Maumere juga merupakan kota terkecil di dunia yang pernah dikunjungi mendiang Sri Paus Yohanes Paulus II pada 1989. Sejenak kami menikmati embusan angin Pantai Waira di tepian Flores Sao Wisata, sekitar 10 km dari pusat kota. Siang itu, halaman Katedral Keuskupan Maumere telah siap menyambut pembukaan PPF 2012.
Yuliati Umrah, pendiri Yayasan Arek Lintang (ALIT) sekaligus panitia PPF menjelaskan awalnya ia melatih OMK (Orang Muda Katolik) dari empat paroki di Sikka, Maumere, untuk berwirausaha, "Mereka belajar bikin bambu gazebo, kerajinan tangan, gerabah, dan pengolahan ikan, tapi bingung mau dijual ke mana. Saya anjurkan untuk buat bazar keliling ke tiap gereja. Lama-lama bazar berkembang jadi skala besar hingga jadi acara ini," ujar Yuliati.
PPF dipersembahkan pemuda setempat untuk masyarakat luas sekaligus mengenalkan Flores kepada dunia luar. "Banyak kabupaten lain ingin berpartisipasi. Ada dari Ende, Bajawa, dan banyak lagi. Saya bersyukur acara ini juga didukung Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu." Yuli yakin Flores yang potensial dengan alam dan budayanya dapat menarik minat wisatawan lokal maupun asing. "Inginnya acara ini jadi agenda tahunan dengan peserta lebih banyak, agar dunia tahu Flores bukan hanya Pulau Komodo. Selain itu, makin banyak masyarakat yang terlibat dan tahu cara berwirausaha, pasti mengurang angka migrasi ke Pulau Jawa. Bumi Flores ini begitu kaya!" ujar Yuli mantap.
Beruntung NOVA datang ke Pasar Geliting di Kabupaten Kewapante pada hari Jumat. Di hari pasar tersebut, ratusan orang datang dari berbagai pelosok desa dan perbukitan untuk berjual-beli hasil kebun, tangkapan laut, kain tenun, dan kebutuhan rumah tangga yang dipasok dari Pulau Jawa.
Sanagt menarik melihat perpaduan modern dan tradisional yang memberi pengaruh pada masyarakat Flores. Di tepi jalan, sejumlah nelayan menawarkan hasil tangkapan laut sambil asyik mendengarkan musik lewat MP3 Player. Sementara di depannya, berseliweran kaum mama (ibu) mengenakan utan (kain tenun yang dililit menjadi sarung) dan limanteke (kebaya bertangan besar). Sebagai tempat membawa barang belanjaan, mereka menggantungkan liun (tas anyaman) di konde berhias we (tusuk konde berbentuk bunga).
Hangatnya Moke & Ja'i
Acara di Flores hambar rasanya tanpa kehadiran ikan bakar dan moke. Maka saat aneka ikan bakar dihidangkan dengan aneka sambal yang menggugah selera di Pesta Rakyat, NOVA tak kuasa menolak. Tuna, kakap, kerapu, baronang, dan bubara berukuran besar dimasak serempak oleh 35 kelompok peserta lomba bakar ikan. Pesta makin semarak dengan kehadiran moke, sejenis arak khas Flores yang diolah dari fermentasi sadapan pohon lontar. Malam hangat itu ditutup dengan Ja'i, sebuah tarian massal yang hangat dan akrab.
Arena panggung di Pekan Pesona Flores diramaikan tarian dan musik etnik Flores sejak sore hingga malam hari. Dibuka dengan Gili Ole, sebuah tarian perang yang mengisahkan semangat perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan. Diiringi irama Glebak dan Sora dari musik gong-waning menampilkan syair adat, pertarungan, dan pesta pora kemenangan. Tarian ini dibawakan oleh siswa-siswi SDK 028 Hewokloang dengan ornamen ja'i (tombak), perisai, bulu itik, giring-giring di kaki, dan pengikat kepala. Ada pula tarian Gasa Mada Oleh Dadi yang berasal dari Sumba Barat Daya. Gerakan penarinya yang gemulai mengajari kita untuk menjalin persaudaraan dengan hati dan lemah lembut.
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR