Sekitar jam 05.00, majikan membangunkanku. Beliau bertanya perihal ceceran darah di belakang rumah. Aku hanya bilang, "Tidak tahu," dan kembali terlelap. Sekitar dua jam kemudian, aku terbangun karena mendengar suara ribut-ribut. Ketika aku membuka mata, ternyata sudah banyak polisi berdiri di sekelilingku.
Mereka menemukanku mengalami perdarahan di dalam kamar. Mereka juga menemukan bayiku yang langsung dibawa ke RS Permata Cibubur. Polisi lantas membawaku ke Polsek Gunung Putri untuk dimintai keterangan. Namun karena aku masih merasa kesakitan usai melahirkan, mereka membawaku ke RS Polri Kramat Jati.
Dan kini, di sinilah aku. Mendekam di dalam sel tahanan dan berstatus tersangka. Rasanya malu dan menyesal sekali. Aku juga takut akan dipenjara untuk waktu yang lama. Pikirku, penghuni penjara pasti galak-galak. Aku takut disatukan dengan mereka.
Hatiku makin pedih karena Ibu menolak bicara padaku. Beliau kecewa karena aku tak pernah cerita perihal kehamilanku padanya. Didiamkan seperti ini, rasanya seperti diiris-iris hatiku. Padahal cita-citaku hanya satu, membahagiakan orangtua. Aku bermimpi bisa membangun rumah orangtuaku yang hanya berupa bilik bambu. Aku ingin membuat rumah dari tembok untuk mereka. Sayang, aku gagal mewujudkannya.
Lalu bagaimana dengan A? Saat kuberitahu bayi itu anaknya, dia malah menyangsikan, "Benar serius anakku?" Meski akhirnya percaya setelah kuyakinkan, dia tetap tak mau mengambil si bayi karena takut berurusan dengan polisi.
Duh, bila teringat bayi yang telah kusia-siakan, aku sedih. Ingin rasanya aku rawat dan membesarkannya. Tapi rasanya tak mungkin. Andai ada keluarga yang sayang padanya dan ingin mengadopsinya, aku tak keberatan. Semoga mereka bisa membesarkannya dengan baik. Aku hanya bisa berdoa, semoga kelak dia menjadi orang sukses. Jika sudah besar nanti, aku juga berharap dia mau mencariku dan sudi memaafkanku. Semoga tak ada lagi luka di tubuh ataupun hatinya atas sakit yang kutoreh...
Tak Siap Punya Anak
Dari sisi psikologis, perbuatan keji yang dilakukan Si ini terjadi akibat ketidaksiapannya menerima kehadiran si jabang bayi. Si bisa jadi memang tak menginginkan kehamilan itu, apalagi si lelaki tak mau bertanggung jawab. "Situasi tidak kondusif ini membuat jiwanya tergoncang, menganggap si bayi adalah perusak rencana hidupnya, hingga nekat menyakiti bayinya. Tujuannya tentu saja agar hidupnya tidak terganggu," ujar Vera Itabiliana K. Hadiwidjojo, Psi
Dari sisi usia, tambah Vera, Si juga tengah berada dalam fase belum matang alias labil. "Belum muncul sisi keibuan sehingga tega menyayat darah dagingnya sendiri. Apalagi dia letih habis melahirkan, ditambah faktor luar seperti tekanan ekonomi, lingkungan tempat tinggal, tidak ada support dari orang terdekat."
Jika sudah mengalami depresi, lanjut Vera, seseorang bisa melakukan apa saja karena tidak ada keinginan untuk melanjutkan kehidupan. "Istilah awamnya gelap mata karena akal sehatnya sudah enggak jalan akibat emosinya yang rapuh."
Untuk menangani kondisi kejiwaan Si pasca kejadian, dukungan dari orang terdekat dan lingkungan sekitar sesungguhnya sangat diperlukan. "Harus didampingi orangtua, keluarga, atau penyuluh dari LSM anak dan perempuan." Terapi, konseling juga pengawasan harus dilakukan sampai dia merasa sanggup mengurus anaknya sendiri.
Jika hasil tes kejiwaan membuktikan pelaku memiliki gangguan jiwa, maka rehabilitasi mental menjadi jawaban. Namun jika maksud Si adalah bertujuan membunuh si jabang bayi, jelas proses hukum yang bicara. Kendati, "Dia harus yakin masih punya pilihan-pilihan hidup dan tidak sendirian. Karena usianya masih sangat muda dan banyak bergantung pada orang lain, dorongan dari lingkungan sekitar jadi sangat penting saat dia mencari identitas diri."
Laili Damayanti, Ade Ryani
KOMENTAR