"Dor!!" Suara ledakan di depan rumahku di Vila Bintaro Indah, Ciputat, Tangerang Selatan, cukup mengagetkanku. Aku yang waktu itu di kamar belakang bersama anak sulungku, Jelang Ramadhan (17) tidak begitu jelas, suara apakah itu. Namanya orang awam, aku tidak bisa membedakan suara senjata api, tabrakan, atau yang dimodifikasi.
Rupanya, anak keduaku, Kenang Jenaya (15) dan Fadli, seorang temannya yang sedang main komputer, segera keluar rumah. Sesaat kemudian, Kenang dengan wajah panik kembali masuk rumah. "Papa..." Segera saja, aku menghambur ke luar rumah. Tubuhku langsung lunglai melihat suamiku, Djuli Elfano (47), tergeletak persis di depan rumah. Sepeda motor masih ada di sana.
Tubuh suamiku bersimbah darah, ada luka di dada bagian kiri. Belakangan aku paham, rupanya suara ledakan tadi, adalah bunyi senjata yang mengarah ke tubuh suamiku. Aku menduga, ada orang jahat yang mau merampok sepeda motor. Kemungkinan besar, suamiku memergoki, hingga terjadi peristiwa itu. Suasana Sabtu (17/3) siang sekitar pukul 13.30 itu memang sepi. Aku tidak tahu, apakah ada saksi yang melihatnya.
Namun, aku tak bisa menduga-duga. Suamiku butuh pertolongan cepat. Dia sudah tak sangggup berkata-kata. Hanya diam dengan mata terpejam. Aku tak paham, apakah saat itu dia masih bernapas. Aku segera berteriak minta tolong pada tetangga sekitar. Pak Dadang, tetangga sebelah rumah, segera mengeluarkan mobil.
Dibantu tetangga lain, suamiku segera dimasukkan mobil. Aku ditemani Jelang, membawanya ke rumah sakit. Aku sendiri yang memangku tubuh suamiku yang saat itu masih hangat. Aku hanya bisa menangis, seraya terus berdoa agar jiwanya selamat.
Hanya beberapa menit kemudian, kami sampai ke IMC, rumah sakit terdekat. Petugas medis sempat mencoba memberi pertolongan, namun nyawa suamiku tak berhasil diselamatkan. Aku sangat terpukul. Kejadian ini sama sekali tak terduga.
Kabar ini merebak cepat. Tetangga segera lapor polisi. Teman-teman suami yang bekerja di TVRI juga banyak yang datang dan membantu. Kabar kematian suamiku juga diumumkan lewat masjid. Aku juga mendengar lewat pengeras suara kabar duka itu. Rasanya tak percaya. Sebenarnya, sih, aku ingin sore itu juga jasadnya dimakamkan. Namun, untuk kepentingan penyidikan, suamiku diotopsi di RS Fatmawati. Otopsi selesai malam hari. Itu sebabnya, baru keesokan harinya sekitar jam 11.00, suamiku dimakamkan di Tanah Kusir.
Musibah itu berjalan demikian cepat. Padahal baru beberapa saat sebelumnya, aku dan suami masih saling sapa dan canda. Hari itu, suamiku yang jadi juru kamera senior di TVRI tidak dinas. Kami berboncengan sepeda motor, keliling kompleks perumahan untuk survei tempat jualan mi ayam. Aku dan suami sudah merancang rencana akan mengambil beberapa karyawan. Nanti, aku yang akan mengawasi usaha. Dalam bayangan kami, tempat jualan itu sekaligus untuk masak dan tidur karyawan .
Sebelumnya, aku bekerja sebagai staf administrasi sebuah lembaga pendidikan. Namun, aku mengundurkan diri tahun lalu usai menjalani operasi jantung. Aku ingin istirahat di rumah. Setelah kondisi kesehatanku pulih, terbersit ide untuk buka usaha mi ayam. Tak hanya di kompleks perumahan, kami juga survei ke luar, bahkan sampai di Pasar Jombang. Siang itu kami sempat makan siang bersama.
Sesampai di rumah, ia memintaku istirahat. Sorenya, kami berencana mau ke pameran waralaba di JCC. Lalu, suamiku mandi dan salat. Tak lama kemudian, ia pamit mau cari aki untuk mobil kami yang mogok. Ternyata, itulah kata-kata terakhir suamiku. Ketika ke luar rumah, kemungkinan ia memergoki penjahat yang ingin mencuri motor, sampai terjadi peristiwa tragis itu.
KOMENTAR