Air muka Sardini dan rekan-rekannya di kelompok Serat Liro tampak berseri-seri kala Juni 2011 lalu lembaran-lembaran kain lurik karya kelompoknya berubah menjadi busana indah di tangan sejumlah fashion designer Jogja. Busana-busana itu dibawa melenggak-lenggok oleh para peragawan dan perawagati Jogja di acara Malam Apresiasi JRF di sebuah hotel berbintang di Yogyakarta, yang dihadiri banyak pejabat, pengusaha dari dalam dan luar negeri. "Ya senang, ada yang mau pakai lurik," ucapnya.
Tentu saja, perajin lurik seperti Sardini di manapun di belahan negeri ini akan sangat senang bila gebyar pemakaian lurik tak terhenti pada ajang peragaan busana saja. Tetapi juga pada kemauan masyarakat luas yang sehari-hari ingin lebih sering mengenakannya. Wajar harapan itu terlontar karena terus menyusutnya permintaan kain lurik sebagai busana.
Karena tak bisa diandalkan sebagai satu-satunya pemutar roda kehidupan, pernah ketika kelompok ini tengah mendapat pesanan kain lurik, sebagian besar anggotanya memilih turun ke sawah daripada menenun. "Padahal kami terlanjur janji memenuhi pesanaan itu. Inilah tantangan kami sebagai pengurus kelompok untuk menyadarkan anggota bahwa janji pada pemesan harus ditepati, sesuai jadwal. Tapi ya bagaimana, budayanya sudah begini. Ke sawah itu pekerjaan utama."
Cerita lain datang dari kelompok Sari Alam. Sepinya pesanan seringkali tidak melemahkan keinginan untuk terus berpromosi. Berhubung pameran sepi pembeli, mereka ingin beralih promosi ke teknologi digital. Sayangnya, tak satu pun anggota yang menguasai teknologi digital ini. Warung internet pun masih jauh dari pemukiman perajin. "Kendala lain, bila harus bolak-balik ke warnet tidak ada tenaga dan dananya. Masing-masing punya kesibukan sendiri."
Ketika NOVA mencoba membantu dengan membuatkan blog sebagai sarana jualan, ternyata tak ada jaringan internet yang bisa terkoneksi di desa ini...
Bahwa kerajinan lurik berdampak pada aspek ekonomi secara luas seperti yang dikatakan desainer Ninik Darmawan, ada benarnya. Dyah Yesnita Narendra Dewi (27), lulusan Jurusan Ekonomi UPN tahun 2006 ini merasakan imbas kerajinan lurik. Sebelumnya, perempuan yang kerap disapa Naren ini sudah sekian kali ganti pekerjaan. Mulai dari pekerja kantoran hingga wiraswasta jualan kopi gerobak di depan mini market.
Sayangnya, tak satu pun yang bena-benar membawa hoki. Ditambah lagi, anak semata wayangnya tak ada yang mengasuh di rumah. "Baru setelah coba-coba jualan lurik, hasilnya ternyata bagus. Saya dapat ide jualan lurik setelah baca majalah terbitan Jakarta," tuturnya.
Ibu satu anak ini bukan sekadar menjual lembaran-lembaran kain lurik semata. Sebagian sudah ia wujudkan menjadi busana siap pakai dengan potongan yang simpel. Ada juga beberapa produk house hold seperti bantal, tempat tisu, atau tempat duduk anak, dan meja lap top. Naren bukan saja gigih menjual produknya dari pameran satu ke pameran lain di kawasan Jogja sejak 2010. Ia juga menjualnya lewat Facebook sejak tahun lalu. Hasilnya sejauh ini, kata pemilik merek Kalurix ini, menggembirakan.
Ketika ia berpameran pertama kali Mei 2011 di JEC, Naren menangkap peluang lurik yang belum terlalu banyak diperdagangkan. "Kebanyakan masih batik. Lalu terpikir oleh saya bagaimana bikin busana lurik supaya diminati sekaligus tidak dianggap ndeso. Sebelumnya, busana lurik kan cuma tampil full lurik tanpa kreasi, atau dipakai untuk surjan abdi dalem saja."
Diakui Naren, pertama kali berpameran perolehan hasilnya hanya impas dengan harga sewa stad yang sudah ia keluarkan. Tapi ia nekat terus berdagang lurik. Ia datangi perajin lurik dan memesan corak khusus. "Saya sengaja ke Pedan karena perajin lurik di Jogja sudah tergolong besar dan sulit diajak kerjasama dengan pemula seperti saya. Dengan memesan corak khusus saya bisa berkreasi sesuai keinginan saya," terang perempuan kelahiran Sorong ini.
KOMENTAR