Irama tak..tek...tak...tek yang ditimbulkan akibat benturan kayu dari alat tenun bukan mesin (ATBM) seolah menjadi irama musik khas di Dusun Tegal Dalem, Kecamatan Cawas, Klaten. Sejak pagi hingga sore, desa-desa di satu kelurahan itu ditingkahi irama mesin tenun yang selanjutnya dibuat serbet, kain, dan selendang.
Sesekali suasana desa yang sunyi dan subur itu ditingkahi bunyi kambing mengembik. Suasana khas pedesaan seperti itu sudah terbangun sejak puluhan tahun lalu. "Di desa ini warga satu kecamatan pekerjaan utamanya bertani dan beternak. Tapi pas sedang tidak musim menanam atau panen, warganya menenun. Sudah sejak zaman simbah-simbah kami membuat serbet makan, taplak, dan sarung bantal dengan mesin tenun," terang Sardini salah seorang perajin lurik dari kelompok Serat Liro.
Serbet motif kotak-kotak berbentuk persegi empat itu kemudian akan diambil oleh para pengepul yang datang dari daerah lain, kemudian mereka menjualnya lagi ke kota. Dengan kebiasaan menjual kepada pengepul, praktis warga tak lagi memikirkan bagaimana cara menjual langsung kepada konsumen sebagai pengguna langsung atau bakul di pasar. Akibatnya, "Warga di sini tidak menguasai cara pemasaran hasil tenun yang lebih luas. Tahunya ya cuma buat dan menjual ke pengepul dengan harga sesuai kesepakatan," papar Sardini.
Pasca gempa yang melanda Jogja dan Jawa Tengah, tak terkecuali kawasan Cawas, justru tercatat menjadi awal terjadinya pengembangan hasil produk dan motif, serta pemasaran lurik. "Tahun 2006 kami diberi pelatihan dan pendampingan oleh LSM IOM. Pemerintah kelurahan membentuk kelompok-kelompok kerja. Akhirnya terbentuk lima kelompok. IOM lalu memberi bantuan 25 alat tenun dibagi untuk lima kelompok itu. Kami dilatih membuat kain lurik. Pelatihnya Pak Arif, putra juragan lurik dari Pedan yang sudah kondang," tambah Sardini.
Tak terlalu sulit bagi kelompok kerja ini membuat kain lurik untuk bahan busana karena mereka tinggal menyesuaikan cara kerja dengan besarannya mesin dan jumlah benang untuk membentuk motif. Namun ketika diberi ilmu baru bernama pewarnaan, para ibu di desa itu menemui kesulitan. "Habis pelatihan pewarnaannya cuma sehari. Waktu masih pendampingan, warna yang diinginkan bisa kami bikin sekali jadi. Tapi setelah selesai pendampingan lalu praktik sendiri, hasilnya kok tidak sama."
Kesulitan lain menyusul. Perajin yang terbiasa setor ke pengepul, ketika masa pendampingan diajak berpromosi gratis. Semua keperluan pameran difasilitasi. Namun begitu pendampingan usai, kelompok ini terkendala dana untuk membayar stan pameran yang bagi mereka masih terlalu mahal. Selanjutnya, perajin kelompok Serat Liro harus mandiri, berjuang sendiri memperdagangkan kain lurik yang belum sepenuhnya mendapat hati di masyarakat perkotaan, sebagai tujuan konsumen akhir.
"Biasanya kami berbagi biaya dengan perajin batik dari Desa Kebon di Klaten dan perajin serbet. Asal dagangannya banyak laku, tidak masalah. Tapi akhir-akhir ini seringnya sepi pembeli," terang Sardini.
Sardini dan rekan-rekan satu kelompoknya mengakui, pameran Inacraft di Jakarta sebagai ajang pameran yang memiliki dampak bagus bagi usahanya. Namun, lagi-lagi ia menambahkan, bila harus ke Jakarta dengan biaya sendiri untuk mengikuti Inacraft, mereka tak mampu. "Padahal kami senang ikut Inacrfat. Banyak sekali pembelinya. Malah ada yang saban hari datang dan beli. Salah satu dampak pameran Inacraft, kami dapat pesanan seragam untuk hajatan pengantin sebanyak 500 helai kain. Jumlah itu langsung kami bagi untuk dikerjakan lima kelompok."
Kelompok Serat Liro membuat kebijakan pemasaran satu atap. Tiap kali dapat order selalu dikerjakan lima kelompok. Hasilnya disetor lagi ke kelompok. Setelah laku, total uangnya dipotong 5 persen untuk kas kelompok. Kegunaan uang kas ini untuk biaya sejumlah hal. Misalnya untuk uang transpor anggota yang jaga stan pameran.
Perajin lurik ATBM juga bisa ditemui di Desa Tegalsari, Kecamatan Weru, Sukoharjo (Jateng). Menenun di desa ini ibarat napas kehidupan secara turun-temurun. Gempa bumi 2006 tentu telah meluluhlantakkan roda perekonomian para perajin tenun di desa ini. Untunglah ada program pemulihan ekonomi. Kebetulan di desa ini para perajinnya mendapatkan pendampingan dari LSM asing GTZ asal Jerman.
Alat tenun yang hancur diberi baru, sementara yang rusak spare part-nya diganti. Para perajin pun bisa kembali bekerja. "Biasanya kami memproduksi lurik selendang gendhong, serbet, dan taplak. Tapi sejak ada pendampingan, kami dilatih membuat kain bahan busana dan pelatihan pewarnaan alam yang lebih ramah lingkungan," jelas Mulyanti, ketua kelompok Sari Alam, perajin lurik berpewarna alami.
Dua kelompok yang memproduksi lurik Serat Liro dan Sari Alam, memiliki kesamaan kendala yang harus diahapi. Yakni sulitnya pemasaran dan sepinya permintaan pasca pendampingan. Sebelumnya, kedua kelompok ini bisa melakukan pameran atas dasar ajakan pihakketiga sehingga tak perlu keluar biaya transportasi dan penginapan selama pameran. Tapi kini, saat mereka harus mandiri, kesulitan itu harus mereka taklukkan sendiri. "Kalau barangnya laku banyak sih tak masalah. Tapi seringnya ikut pameran akhir-akhir ini malah sepi sekali," terang Mulyanti.
Bila kelompok Serat Liro bisa mengakali sepinya pemasaran dengan memproduksi serbet makan dan taplak, maka kelompok Sari Alam menyiasatinya dengan terus memperbanyak produksi kain selendang gendhong yang sudah jelas pasarnya dan ada yang mau menampung hasil produksinya.
Ramainya permintaan tenun, kata Mulyanti, terjadi pada 2010 saat pegawai di Jawa Tengah harus mengenakan lurik. Namun perajin tenun di desanya tak bisa memenuhi semua. Akhirnya pabrik tekstil lah yang megambil peluang itu. Untuk tahun 2011 permintaan lurik, lanjut Mulyanti, "Juga sepi meski kami sudah mengikuti sejumlah pameran di Jogja dan Semarang."
Bisa jadi karena sepi peminat, anak-anak muda di Tegalsari juga kurang bergairah belajar menenun. Kecenderungan menurunnya minat menenun, juga menjadi pengamatan desainer terkenal Ninik Darmawan. Menurutnya, menurunnya minat menenun terjadi di beberapa daerah sentra industri tenun. Padahal, kata Ninik, produk lurik bukan sekadar bersentuhan dengan aspek budaya, melainkan juga ekonomi dan sosial.
Pada zamannya, lanjut Ninik, lurik sekadar tampil untuk acara-acara budaya. Kain lurik biasa dikenakan sebagai busana abdi dalem keraton. Padahal lurik bisa dijadikan busana yang sifatnya universal setelah melalui desain khusus. "Lurik sebetulnya punya pengaruh besar pada masyarakat. Bila kini terkesan masyarakat tak berminat mengenakan lurik, karena orang tidak tahu. Andai mereka tahu dan mau mengenakan lurik, ini akan sangat berdampak pada budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat luas."
Ninik yang telah menggeluti lurik sejak 2005 dan kini tengah menyusun buku tentang perjalanan lurik. Desember lalu karya-karyanya yang bermateri utama lurik, mengundang decak kagum pencinta kain tenun. Di tangan Ninik, sepotong kain jarik lurik seharga Rp 40 ribu bisa ia "sulap" menjadi adi busana seharga Rp 3 juta, dan sebagian besar sudah laku. "Saya mendesain busana lurik jadi busana yang universal," jelasnya.
Tak berhenti sampai di situ, Ninik juga "mendirikan" pasar tiban di Kraton Ballrom Hotel Royal Ambarukmo tempatnya menggelar karya. "Lewat pasar tiban itu, saya ingin mempertemukan perajin dengan pengguna lurik. Saya juga ingin mengatakan, perajin lurik masih ada."
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR