Rasa Unik Kuliner Salatiga (2)

Nasi Keong Pecel

Ini bukan keong racun seperti judul lagu, tapi keong bumbu gecok yang dipadu nasi pecel. Adanya di warung makan Mbak Toen, Jl. Raya Ambarawa, Salatiga (Jateng). Konon, keong mampu menghilangkan pegal-linu dan menyehatkan badan. "Ada dokter yang bilang begitu di teve. Saya tak tahu, benar atau tidak. Yang jelas rasanya gurih. Tambah enak setelah saya olah dengan bumbu gecok. Jadi terserah pelanggan mau percaya khasiatnya atau tidak," seloroh Romjatun (53) alias Mbak Atoen.

Atoen jualan keong pecel awalnya hanya meneruskan usaha ibunya, Ny. Salami, di samping lokasi wisata pemandian Muncul. "Dulu ibu menampung keong hasil para nelayan di Rawapening dan pantai dekat sini. Ternyata setelah diolah dengan bumbu gecok, kok, banyak yang suka. Jadi keterusan sampai sekarang."

Per hari Atoen bisa menjual hingga 15 kg keong. Bila liburan tiba permintaan keong akan bertambah, bahkan bisa menghabiskan hingga 50 kg per hari. "Sayangnya, pas musim kemarau nelayan sulit dapat keong. Harga keong mentahnya jadi mahal," terang ibu empat anak ini. Di hari-hari biasa, menjelang jam makan siang halaman parkir warung yang menempati tanah kas desa ini selalu dipenuhi pembeli. Penggemarnya mulai dari karyawan kantor, ibu rumah tangga, hingga kalangan profesional. "Saya tak mengira bakal selaris ini," kata Atoen yang kini dibantu 18 karyawan.

Sejak 20 tahun lalu Atoen membuka warung sejak pagi hingga pukul 18.00 WIB. Seporsi nasi keong pecel harganya tak sampai Rp 10 ribu. Berkat kesuksesannya menjual nasi keong pecel, Atoen pun mampu menyekolahkan anak hingga ke universitas, membeli kendaraan, rumah, serta lahan untuk membuka cabang usahanya di Taman Kelinci.

Gethuk Kethek

Gara-gara memelihara kethek atau monyet, nama Gethuk Satu Rasa jadi terkenal. Risikonya, gethuk manis-gurih itu jadi menyandang nama gethuk kethek. "Orang Jawa kalau cari tempat selalu pakai ancar-ancar. Dulu orang tahunya Gethuk Satu Rasa. Tapi mahasiswa yang sering ke mari, kalau kasih ancar-ancar selalu bilang, beli gethuk di rumah yang ada kethek-nya. Ya sudah, tak apa-apa," terang Atok, pengelola usaha.

Perintis Gethuk Satu Rasa, Ny. Sawami (80), rupanya juga sudah ikhlas masyarakat umum menamai produknya gethuk kethek. Ia pun hanya tersenyum saat dimintai komentar soal itu. Bahkan di boks kemasan gethuknya, selain ada merek Satu Rasa juga dicantumkan ikon kethek. "Nama Satu Rasa kami pakai karena warna gethuknya putih dan beraroma vanili. Rasanya, manis-gurih karena campuran kelapa," lanjut Atok.

Menurut Ny. Sawami, dulu ia menjual gethuk di tepi jalan raya yang kini dikenal sebagai pertigaan ABC. Karena sudah tua, ia jualan di rumah. "Rasa gethuknya, sih, hambar saja. Setelah jualan di rumah dan makanan modern makin menjamur, kami putar otak agar gethuknya tetap disukai orang. Lalu ibu bilang, campur saja dengan gula dan kelapa muda. Setelah saya ikuti, ternyata banyak yang suka. Awalnya cuma mahasiswa UKSW yang sering beli. Lama-lama masyarakat umum juga ikut beli," timpal Atok.

Sejak awal, Salami tidak mengiris gethuknya melainkan dicetak bentuk kotak satu per satu. "Nyetaknya per 20 buah. Dulu kami jualan pakai bungkus daun pisang, sekarang pakai boks. Per boks isi 20 buah," terang Atok yang menjual gethuk Rp 10 ribu per boks.

Sayang, Gethuk Satu Rasa hanya tahan selama enam jam, lantaran tak pakai pengawet dan pewarna buatan. "Bisa dibawa ke luar kota, asal tak lebih dari enam jam di perjalanan." Untuk bisa mendapatkan Gethuk Satu Rasa yang fresh, Atok menyarankan calon pembeli pesan lewat telepon atau datang langsung. "Kami hanya buat gethuk sebanyak pesanan saja. Sehari bikin dua kali."

Rini Sulistyati

PROMOTED CONTENT