Mengapa Anda tega membunuh Eka?
Sebenarnya tidak ada niat saya untuk membunuh Eka. Saya sendiri juga tidak tahu mengapa sampai seperti ini. Semua terjadi begitu cepat.
Ceritanya pada hari Sabtu (11/2) lalu, sepulang kerja saya mendapati Eka saling berkirim SMS dengan seorang lelaki. Ketika saya tanya siapa lelaki tersebut, dia tidak mau jawab. Merasa dipermainkan, seketika itu juga saya naik pitam. Entah bagaimana, saya lihat ada pipa besi di samping saya. Saya ambil dan pukulkan ke wajah Eka sampai dia tidak bergerak lagi. Saat saya pukuli itu dia sempat minta ampun, tapi karena sudah gelap mata tidak saya hiraukan.
Kemudian?
Setelah sadar dia tidak bergerak dan tubuhnya sudah berlumuran darah, barulah saya panik. Kemudian saya panggil istri saya, Patricia Yolancia Dahlia yang saat itu berada di lantai atas untuk turun. Begitu melihat Eka tidak bergerak, Yolan juga panik dan ketakutan. Tapi semua sudah terjadi, maka saya mencari cara agar ini tidak terbongkar.
Jujur, Eka adalah orang yang istimewa buat saya. Saya tidak akan membiarkan (mayatnya) begitu saja. Dengan bantuan Yolan, saya mengangkat jasad Eka ke kamar mandi untuk saya mandikan. Saya sabuni tubuhnya dan keramasi rambutnya hingga bersih dan wangi dengan berlinang air mata. (Emil terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca). Setelah itu, saya bopong Eka ke dalam kamarnya. Rambutnya saya sisir rapi dan saya kenakan pakaian terbaiknya. Sebelum saya bungkus dengan seprai sutra termahal yang saya punya, saya cium kening Eka sambil berlinang air mata.
Saat memandikan Eka, ada sebuah kejadian yang di luar nalar. Tangan Eka kaku dan susah ditekuk. Yolan lantas meminta saya meminta maaf kepada Eka. Percaya atau tidak, setelah saya minta maaf tangan Eka kemudian melemas dan dengan mudah saya sedekapkan di dadanya.
Darimana terpikir menyimpan mayatnya di pipa besi? (Emil menyimpan mayat Eka di dalam pipa besi, bukan di dalam tabung gas 50 Kg seperti berita yang belakangan beredar, Red.)
Tadinya saya mau mengubur, tapi takut ketahuan. Maka, selama beberapa hari saya biarkan saja jenazah Eka berbaring di kamar tidur yang saya kunci dari luar. Setelah dua hari, mulai keluar bau tidak sedap. Saya sampai membungkus mayat dengan 14 lapis plastik, namun baunya tetap menyeruak.
Lalu muncul ide untuk menyimpan di dalam sebuah pipa besi. Saya beli pipa bekas penyangga papan reklame dengan ukuran 16 dim sepanjang 1,75 meter di loakan. Sampai rumah, mayat Eka saya masukkan ke dalam pipa, saya tutup dengan plat besi. Agar baunya tidak menguap, saya las listrik. Selanjutnya, pipa itu saya letakkan di lantai dasar.
Setiap hari sebelum tertangkap, sebelum dan setelah pulang kerja, saya bersimpuh dan menangis di depan pipa tersebut sambil minta maaf pada Eka. Apapun, Eka adalah wanita yang sangat saya cintai. (Air mata Emil menggenang di pelupuk matanya.)
Rencananya saya berniat membawa pipa tersebut ke Flores, tempat asal saya, untuk dimakamkan secara layak. Saya juga tadinya sudah mau menjual rumah beserta semua aset di Surabaya lalu pindah ke Flores.
Kalau mau menghilangkan jasad tersebut, sebenarnya mudah buat saya. Saya memiliki usaha ekspedisi muatan kapal laut. Kalau mau, bisa saja pipa itu saya buang ke tengah laut dan tidak ada yang tahu. Tapi tidak saya lakukan. Saya memang ingin jasad Eka selalu dekat dengan saya. Saya sangat mencintai Eka. (Suara Emil melirih).
Kalau mencintai Eka, mengapa sampai membunuh?
Saya akui saya orang yang sangat temperamental. Bahkan tahun 2011 lalu saya sempat memukul Eka sampai lengannya retak. Tapi karena sama-sama cinta, kami akhirnya bersatu lagi. Soal mengapa bisa sampai membunuh, itu karena saya jengkel. Usaha saya untuk mendekatkan dia dan menempatkan dia di rumah bersama Yolan tidak dihargai. Malah dia berhubungan dengan lelaki lain. Saya naik pitam.
Bagaimana awal hubungan Anda dengan Eka?
Kami menjalin asmara sejak tahun 2007. Eka adalah karyawan toko obat milik mantan pacar saya yang bernama Hanny di Yogyakarta. Ketika kami pacaran, saya sudah memiliki Yolan sebagai istri. Yolan sendiri adalah istri kedua saya. Patrecia Maria Merry, istri pertama saya, meninggal tahun 1994. Saat itu Stephani, anak kami, baru berusia 4 bulan.
Keluarga Eka tidak tahu Anda sudah beristri?
Awalnya tidak tahu. Di tahun 2008, saya sudah sempat minta (menikahi Eka) kepada keluarganya di Grobogan. Sambutan keluarga Eka saat itu sangat baik. Tapi, entah mengapa sebelum pernikahan kami terjadi, tahun 2009 sikap mereka berubah pada saya. Mungkin saat itu mereka tahu saya sudah berkeluarga.
Tapi karena kami sama-sama cinta, hubungan kami terus berlanjut. Eka saya tempatkan di rumah yang saya beli di Yogyakarta. Setelah dua tahun di Yogyakarta, saya boyong dia ke rumah saya di Surabaya tahun 2011 lalu. Supaya kami lebih dekat. Selain itu, belakangan keadaan keuangan saya kurang mendukung.
Eka dan Yolan menerima keadaan ini?
Proses kepindahan Eka ke rumah cukup lama. Awalnya, kalau malam hari Eka tidur di dalam mobil yang diparkir di depan rumah. Bahkan pernah mobilnya saya parkir di depan mini market di dekat rumah. Lama-kelamaan Yolan tahu, akhirnya Eka diizinkan tinggal di dalam rumah meski suasananya tidak nyaman. Meski serumah, mereka tak pernah bertegur sapa.
Di rumah, selain ada Stephani (16), juga ada Yolan yang tengah hamil 7 bulan dan dua anak kami yang masih kecil-kecil. Jujur, saya ingin Yolan dan Eka bisa akur dan hidup berdampingan dengan damai. Saya mencintai keduanya.
Ada perasan sedih, tapi juga lega. Sedih, karena setelah tertangkap polisi saya harus mempertanggungjawabkan di depan hukum dalam waktu yang lama. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana kehidupan Yolan yang tengah hamil tua dengan tiga anak lainnya tanpa saya.
Tapi sebaliknya ada perasaan plong karena saya tidak dihantui perasaan bersalah. Biarlah kekejian terhadap Eka ini saya tanggung akibatnya. Saya masih mending meski dihukum lama, tapi hanya hukuman badan. Sementara Eka, kan, tidak bisa hidup kembali.
Apa yang menarik dari sosok Eka?
Eka itu sangat care, supel dan enak diajak mengobrol. Itulah mengapa saya cinta sekali sama Eka. Kalau Yolan, orangnya cenderung pendiam.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR