RM PAK OEBAN Satu Kepala & Setumpuk Cabai
Di Semarang kini tengah marak orang menjual gulai kepala ikan. Usut punya usut, di kawasan Semarang Barat terdapat pabrik fillet ikan yang daging olahannya diekspor ke luar negeri. Hal ini diungkapkan seorang sopir taksi. "Karena cuma diambil dagingnya, kepala dan durinya tak terpakai. Ini yang dijadikan bahan baku gulai kepala ikan oleh sejumlah rumah makan (RM). Harganya murah," tuturnya.
Apa yang diungkapkan sopir taksi itu ada benarnya. Hj. Uma Kadar Chatib (57) pemilik RM Pak Oeban, Jl. Pamularsih dan Jl. Menteri Supeno, Semarang, juga membeli kepala ikan dari pabrik fillet ikan tadi, kendati tak spesifik menyebutkan nama pabriknya. "Sebelum banyak orang jual gulai kepala ikan, tahun 1996 saya sudah jual gulai kepala ikan di Pujasera Jl. Imam Bonjol. Bahan bakunya saya beli di pasar. Karena pelanggan saya banyak dan bahan baku sulit diperoleh, saya berhenti jualan. Lalu ganti jualan nasi goreng babat. Menu ini juga laris, tapi lama-lama saya tak kuat bikinnya, saking banyaknya pembeli. Kalau saya serahkan ke orang lain, pembeli komplain. Katanya rasanya lain."
Tak lama ia menutup warung makannya dan berjualan sembako dengan sistem delivery service. Suatu hari di tahun 2002, ia berjalan-jalan bersama sang suami ke Mangkang. Mendadak ia melihat mobil boks pengangkut kepala ikan dari pabrik fillet ikan. Seketika ingatan Uma kembali ke bisnis awalnya. "Orang Semarang gemar makan gulai kepala ikan. Saya jadi ingin buka warung makan lagi, tapi kaki lima," jelas nenek dua cucu ini.
Sepetak tanah di tepi Jl. Pamularsih pun disewa Uma untuk membuka warung kali limanya. "Hari pertama saya bawa lima kepala, yang laku cuma tiga. Hari berikutnya laku lima, lalu 10 kepala. Tapi hari berikutnya lagi, sama sekali tak laku. Dagangan saya bawa pulang dan dijual ke tetangga dengan setengah harga," kenang Uma.
Menginjak bulan ketiga, masa suram bisnisya mulai sirna. "Saya buka warung pukul 10,00, pukul 13.00 kepala ikan sudah ludes. Saya sampai tak percaya lihat banyak mobil berderet di jalan dan penumpangnya antre makan gulai kepala ikan di warung saya," lanjut Uma. Ia menduga para pembeli datang berkat promosi dari mulut ke mulut. Berhubung pembeli semakin banyak, pelanggan menyarankan ia buka warung hingga malam dan membuka cabang.
Saran itu diikuti Uma. Ia lalu membuka RM di samping minimarket Jl. Pamularsih. Pada 2009, ia membuka cabang di Jl. Menteri Supeno, tak jauh dari gedung perkantoran. Bila tiba jam makan siang, warung Uma selalu disesaki pembeli. Ciri khas gulai kepala ikan olahan Uma adalah bumbu khas Sumatra Barat dengan setumpuk cabai rawit merah yang ditaburkan di atas kepala ikan.
Kini, setiap harinya Uma harus menyediakan lebih dari 300 porsi gulai kepala ikan. Belum termasuk menu pendamping seperti sup kepala ikan dan soto betawi. Untuk itu, Uma harus bangun sejak pukul 02.30 dini hari. Padahal ia mengakhiri usahanya pada pukul 23.00. "Setelah mandi dan salat, saya baru istirahat. Begitu saban hari." Berhubung tiap hari Uma harus menunggui restorannya di Jl. Mentri Supeno, RM yang di Jl. Pamularsih kini ditunggui kedua anaknya, Popy Indrasari dan Iwan.
Bila ada mantan pegawai bank yang lebih suka meninggalkan ruang kerja ber-AC, mencopot kemeja dan dasi, lalu memilih berpanas-panas di dapur dengan kaos oblong, itulah Untung Atmodjo (40). Ayah dua anak ini lebih suka meninggalkan kemapanan profesinya, lalu "bertaruh nasib" menjajal keberuntungan menjual gulai kepala ikan.
KOMENTAR