Irwansyah (35), suami ND mengaku pasrah dan ikhlas menghadapi kenyataan sang istri ternyata menjadi otak dan pelaku perampokan Kantor Pos Cipondoh.
"Siapa yang enggak kaget mendengarnya? Tapi mau apa lagi semuanya sudah terjadi. Memang saya emosi, tapi ND istri saya. Sudah 15 tahun kami berumahtangga dan dia sudah memberi saya tiga anak perempuan yang cantik seperti dirinya," ungkap Irwansyah.
Selain merasa hancur, katanya, ia juga malu. "Apalagi istri korban bekerja di tempat yang sama dengan saya. Enggak sanggup rasanya bertemu dia setiap hari. Saya belum tahu pasti apa yang akan terjadi, apakah saya dimutasi atau diberhentikan," papar pria berambut ikal ini.
Irwan menganggap musibah ini sebagai ujian dari Tuhan untuk keluarganya. "Ini teguran secara langsung bagi saya. Ini takdir. Saya juga merasa bersalah. Gara-gara saya, istri sampai melakukan hal senekat ini. Justru akibat kejadian ini, rasa cinta saya semakin dalam."
Hingga kini, Irwan belum sanggup memberitahukan kasus ini ke anak-anaknya. "Anak-anak tahunya saat ini ibunya sedang mengikuti pelatihan untuk bekerja di Jepang. Mungkin si sulung yang akan saya kasih tahu. Sekarang anak-anak saya pulangkan ke kampung kelahiran istri di Belitung, tinggal bersama neneknya. Baru kemarin saya kembali ke Jakarta usai mengantar dan mengurus kepindahan sekolah mereka."
Iis Lisdianti (41) masih ingat benar, 5 Desember itu, menjelang berangkat ke kantor, Rachmat Santosa (43), sang suami mengeluh dadanya sakit. "Saya bilang, kalau sakit lebih baik istirahat," ujar Iis.
Toh, Rachmat bersikeras masuk kerja. Dari rumah mereka di perumahan Pondok Indah, Kotabumi, Tangerang, Rachmat mengantar Zikri (11) dan Iis, baru menuju kantornya. "Ternyata itu pertemuan terakhir kami."
Sore itu, kisah Iis, ia pulang lebih dulu. Rachmat yang biasanya tiba di rumah menjelang magrib, tak juga muncul. Dihubungi lewat HP pun, tak bisa. Sejurus kemudian, Iis menerima telepon dari Kantor Pos Pusat Tangerang, menanyakan keberadaan sang suami karena belum setor uang.
Kecemasan mulai melanda Iis. Ia pun lunglai ketika mendengar kabar Rachmat ditemukan tewas di kantornya. Uang ratusan juta di kantornya juga raib. "Saya sampai di rumah sakit sekitar jam 02.00. Saya lihat suami dari kejauhan. Saya tidak kuat melihat dari dekat. Sempat saya lihat, di bagian kepalanya mengeluarkan darah," kisahnya.
Yang membuatnya bertanya-tanya, mengapa Rachmat dibunuh sementara selama ini Iis tahu suaminya tak punya musuh. Yang ia tahu hanya suaminya yang jadi korban sekawanan orang jahat yang merampok uang kantor.
Tiga bulan kemudian Iis baru mendapat jawaban. "Saya kaget saat tahu dalang perampokan disertai pembunuhan ini adalah ND. Saya kenal dia. Dia dan keluarganya tinggal di rumah dinas Kantor Pos." Awalnya Iis tak mencurigai ND. Apalagi, beberapa hari usai pemakaman, "Dia telepon saya, mengungkapkan belasungkawa," kata Iis yang saat itu masih di Bandung. ND juga datang ke rumah saat acara 40 hari meninggalnya Rachmat. "Ia memeluk sambil terus membesarkan hati saya. 'Mbak, sabar ya.' katanya."
Kenangan indahnya bersama sang suami yang menikahinya tahun 1993 itu, membuat Iis ingin segera pindah. "Rumah jadi lengang setelah dia pergi," ujar ibu dari Fitri (18), Rizky (15) dan Zikri (11). Bandung menjadi kota pilihan Iis. "Rencananya setelah anak-anak kenaikan kelas, kami langsung pindah," ujar Iis yang mengenal Rahmat ketika sama-sama mengikuti diklat dasar pegawai kantor pos tahun 1991. "Di Bandung saya ingin menata hidup dan belajar hidup tanpa suami."
Edwin Yusman F, Henry Ismono
KOMENTAR