Selain hari-hariku diisi dengan aktivitas membuat aneka kerajinan, kehidupanku saat ini juga lebih berwarna. Apalagi setelah kehadiran pria bernama Mas Didit Juniawan (29), yang menikahiku pada 24 November 2010 lalu. Mas Didit, selain sebagai pendamping hidup, ia sekarang aktif membantu memasarkan hasil karyaku di Facebook. Berkat Mas Didit pula, aku bahkan pernah menerima order 400 buah wayang dari Jakarta. Memang, secara harga wayangku tak terlalau mahal, kisaran harganya Rp 5 ribu sampai Rp 25 ribu untuk satu set wayang.
Nah, kisah cintaku dengan Mas Didit juga tak kalah serunya. Jangan salah lho, suamiku itu cakep, sangat baik hati, bahkan usianya lebih muda beberapa tahun dariku. Sebenarnya Mas Didit bukanlah orang baru di kehiupanku. Mas Didit adalah temanku sewaktu di SMA. Ia pernah setahun sekelas denganku. Bahkan dulu ketika masih di SMA, ia rajin mendorong kursi rodaku ke luar ruang kelas atau menemani mengobrol sebelum Bapak atau Ibu menjemputku.
Mas Didit adalah seorang motivator terhebatku. Sejak SMA ia selalu memberiku semangat untuk menapaki kehidupan ini. Ia adalah satu-satunya orang yang bisa mendengarkan curahan hatiku ketika aku punya masalah. Dengan latar belakang agama yang kuat, sehingga nasihat-nasihat yang diberikannya selalu menyejukkan hati.
Hubunganku dengan Mas Didit memang lucu dan unik. Meski, aku sudah lama dekat dengannya namun sama sekali tak pernah ada ungkatan kata cinta yang keluar bibirnya. Tapi kasih sayangnya ia wujudkan dalam bentuk perbuatan. Aku kadang juga heran, mengapa Mas Didit mau berhubungan denganku. Padahal secara fisik aku tidak sempurna. Sementara Mas Didit selain lebih muda, cakep, fisik sempurna, dan berwawasan luas.
Selepas SMA Mas Didit melanglang buana jadi seorang chef di kapal dagang berkeliling Asia. Pekerjaan itu dilakoninya sekitar tujuh tahun lamanya. Kendati ia berada di kejauhan, bukan berarti kami putus hubungan. Ketika singgah di negara mana saja, ia tak pernah lupa berkirim SMS yang berisi dorongan semangat, juga selalu mengingattkan agar aku tak pernah lepas dari salat lima waktu.
Bahkan, bila kapalnya sedang singgah di Surabaya, sambil menjenguk keluarganya di Madiun, ia pun tak lupa menengokku. Ia memang memiliki keahlian di bidang memasak karena pernah kuliah bidang kuliner di sekolah perhotelan di Surabaya.
Meski sudah menjalin hubungan sejak SMA, namun alangkah terkejutnya aku ketika di pertengahan tahun 2010 Mas Didit yang saat itu tengah berlayar di luar pulau berkirim SMS yang isinya mengajakku menikah. Sungguh, jantungku mendadak mau copot saat membaca SMS itu. Rasanya bagai mimpi saja. Rasa antara percaya dan tidak langsung menyergap. Hal serupa juga dirasakan kedua orangtuaku saat aku memberitahu mereka.
Tak sekadar diucapkan, tak lama kemudian Mas Didit benar datang dan langsung menemui Bapak dan Ibuku untuk menyampaiakan niat baiknya itu. Ketika aku bertanya kepadanya mengapa mau memilihku ia mengatakan kagum padaku, yang memiliki semangat tinggi. Soal kekuarangan fisik, ia tak mempermasalahkan karena menurutnya tak boleh sekadar melihat manusia hanya dari fisik semata, tetapi juga harus melihat kepribadiannya.
Tak lama kemudian seluruh keluarga besarnya datang melamarku. Ternyata bukan hanya Mas Didit yang memiliki hati mulia. Seluruh keluarga besarnya pun mau menerimaku apa adanya. Sungguh sangat terharu setiap aku mengingatnya.
Setelah semua keluarga sepakat, resepsi perkawinan kami pun dilaksankan secara sederhana namun khidmat pada 24 November 2010. Setelah menikah, ia tak lagi bekerja lagi di kapal. Mas Didit sempat bekerja di berbagai tempat, tetapi saat ini ia bekerja di RS Haji Surabaya, sebagai chef, dan pulang setiap dua minggu sekali. Aku merasa tersanjung, bila pulang aku benar-benar dimanjakannya.
Atlet New Balance Triyaningsih Berhasil Taklukan Kompetisi TCS New York City Marathon 2024
KOMENTAR