Di daerah asalnya, Desa Anin, Kabupaten Timor-Tengah Selatan, Antonia Taloen Sole (44) dan Apriyani D. Kori (39) kedua perajin tenun mengatakan setiap rumah tangga di sana pasti memiliki alat tenun tradisional. Setiap perempuan juga punya kegiatan keterampilan seperti menenun, membuat tas, dompet dari manik-manik. Setelah terkumpul banyak, kerajinan ini akan dijual di pasar Selasa (sebutan hari pasar di sana) sekitar 500 ribu - 1 juta per lembar kain.
Keterampilan ini memang diwarisi secara turun-temurun. Ketika ada anak gadis mencapai usia 15 tahun, itulah saatnya ia sudah harus mampu menenun. Kenapa? "Karena besok-besok kalau dia punya suami dan berumah tangga, seandainya suaminya tak bekerja, bisa mendapat penghasilan dari membuat kain tenun," jawab Mama Antonia dengan logatnya yang khas.
Selain menggunakan bahan-bahan dari alam, ada kalanya mereka mempercantik kain tenun dengan warna terang mencolok, seperti merah, kuning, hijau, biru. Warna ini didapat dari benang buatan yang banyak dijual di pasar. Sedangkan benang dari bahan alami, warnanya cenderung pucat karena berasal dari serat kapas asli, daun nila, pelepah batang pohon mengkudu. "Tenun yang asli tidak dicelup, karena warna putih dari kapas asli. Kalau warna hitam dari air nila yang diendapkan," tambah Mama Apriyani.
Teknik alami ini dimulai dari memanen biji kapas yang telah ditanam. Lalu kapas dipintal hingga menjadi benang. Setelahnya benang direntangkan dan diikat sampai membentuk motif bunga. Barulah benang tersebut dicelup pada warna yang diinginkan. Jika sudah kering tahap selanjutnya adalah mulai menenun. Waktu pengerjaanya sendiri beragam, yang tercepat adalah dua minggu.
Untuk motif khas dari Kabupaten Timor-Tengah Selatan, Mama Antonia menjelaskan ada tiga jenis kain, yakni motif futus (cenderung berwarna gelap), motif buna (dominasi warna terang mencolok), dan lotis (paduan hitam putih dan biasanya dua warna). Menurutnya, warna yang paling bagus dan diminati adalah motif buna (warna merah).
Kelompok Hue' Biabi sendiri diboyong ke Indonesia Fashion Week berkat diundang oleh Ibu Martha Tilaar pada November 2011 lalu. Selanjutnya, mereka pun meramaikan booth Sari Ayu sembari memamerkan kain-kain dan musik etnis asal daerah mereka. Mereka membawa 80 lembar kain besar, 50 lembar kain ukuran sedang, 30 ukuran kecil, serta dompet dan tas manik-manik. Sekitar 30 kain sudah terjual, "Ya, karena kami ada empat anggota jadi hasilnya dibagi rata," ujar Mama Apriyani.
Lantas apa harapan mereka setelah ini, "Selama ini kami menenun tapi tidak ada hasil pasti, kami ingin membuka koperasi di desa nantinya agar lebih teratur. Dan agar ke depan dapat membiayai anak-anak sekolah," tambah Mama Antonia.
Sebuah harapan sederhana yang keluar dari lubuk hati para Mama perajin tenun ini, namun kaya makna akan budaya yang mereka wariskan pada anak-cucunya kelak.
Ade Ryani
KOMENTAR