Belakangan, kasus ini membuat Nur dan suaminya kurang senang. Mereka merasa Syaiful diperlakukan dengan tidak adil. Terlebih saat pemerhati masalah anak, Kak Seto, menjeguk Am dan menyarankan rehabilitasi sebagai hukuman. "Saya tidak setuju. Kesannya kalau rehabilitasi itu buat pemakai narkoba. Yang dilakukan Am, kan, tindakan kriminal pembunuhan berencana!" tukas ayah Syaiful, Sukino.
Pasangan ini lantas mengadu ke Komnas HAM dan diterima Dr. Saharudin Daming, SH, MH. Daming yang kemudian menggandeng Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) untuk menggalang bantuan bagi Syaiful, mengaku sudah menyiapkan langkah pembelaan. "Saya akan menyurati Kapolres Depok agar menempatkan kasus ini di jalurnya. Selain itu, kami juga meminta media untuk membangun wacana publik yang berimbang antara pelaku dan korban. Selama ini, kan, lebih banyak yang membahas pelaku yang di bawah umur sementara keadaan korban tak diperbincangkan sama sekali. Ini tidak adil," sebut Daming yang juga penyandang tunanetra.
Jika itu yang terjadi, lanjut Daming, polisi seakan-akan melegalisasi perilaku kriminal yang dilakukan anak-anak. "Mereka akan makin berani melakukan tindakan nekat karena tahu tidak ada ancaman pidana dalam peradilan. Konsekuensi yang terjadi, akan ada pihak yang mengeksploitasi anak buat kepentingan kriminal."
Satu lagi yang penting, lanjut Daming, perbuatan Am yang bisa dikenai sanksi tak hanya penusukan tapi juga pelecehan, penghinaan, dan perbuatan tidak menyenangkan. "Waktu Am mencuri, dia tahu Ibu Nur tak bisa melihat, jadi seenaknya saja mencuri. Nah, Ibu Nur bisa saja keberatan dengan perlakuan ini dan mengadu ke polisi."
Untuk masalah itu, kata Nur, ia masih mempertimbangkan saran Daming. "Untuk sementara fokus ke keadaan Syaiful dulu. Ada juga rencana Syaiful pulang bersama neneknya ke Semarang saja, tapi masih belum saya putuskan karena kondisinya masih begini," kata Nur.
Seorang anak, kata Roslina Verauli, M.Psi, psikolog dari RS Pondok Indah Jakarta, tidak pernah dengan sengaja melukai orang lain secara tiba-tiba. Dengan kata lain, si anak biasanya punya penyebab atas perilaku bermasalahnya. "Jadi, harus ditelusuri lebih dulu sejak kapan dia melakukan tindakan yang menyakiti orang lain," ujar Vera saat dihubungi Jumat (24/2).
Dalam ilmu psikologi, lanjut Vera, memang ada anak yang cenderung memiliki perilaku yang dianggap mengganggu. Ciri gangguan perilaku ini antara lain menyakiti hewan, menyakiti orang lain seperti berkelahi, memaksakan tindakan seksual, merusak properti, mencuri, masuk rumah orang lain tanpa izin, sering bolos sekolah, dan lari dari rumah.
Nah, jika seorang anak memiliki dua atau lebih ciri di atas dalam kurun waktu tertentu, "Bisa dipastikan dia menderita conduct disorder. Pasti ada asal muasalnya mengapa masalah ini muncul. Misalnya, dia punya masalah di sekolah berupa gangguan belajar sehingga dia jadi suka bolos lalu menghabiskan waktu dengan menongkrong. Kalau dia berasal dari keluarga tidak mampu, dia bisa mendapatkannya lewat mencuri," kata Vera mencontohkan.
Selain itu, kepribadian anak yang bersangkutan bisa ikut menyumbang dalam perilaku bermasalahnya. Ada anak yang terlahir agresif dan mudah terpicu emosi. Tingkat kecerdasan juga berpengaruh, karena biasanya anak yang cerdas akan memikirkan konsekuensi sebelum bertindak. "Pengasuhan orangtua juga berperan penting. Orangtua yang tidak hadir dalam pengasuhan akan membuat anak gagal memenuhi kebutuhan emosionalnya." Faktor lingkungan juga bisa jadi faktor penyumbang.
Perilaku anak menyakiti orang lain seperti yang terjadi di Cinere, menurut Vera, tidak wajar dan merupakan kondisi kompleks yang dialami si anak. Penanganan yang tepat untuk anak yang bertindak kriminal, sarannya, adalah rehabilitasi sosial. Selain dihukum dalam bentuk kerja sosial dalam jumlah jam tertentu, anak juga mesti diberi pendidikan agama dan moral. "Penjara bukan jawaban, malah akan memperburuk perilakunya. Gangguan perilaku sebetulnya bisa dibenahi asal kita punya sumber dan strategi tepat yang membuat anak bisa mengendalikan dirinya."
Hasuna, Noverita
KOMENTAR