Ditemui di ruang tamu Polsekta Beji, Depok, Jawa Barat, Kamis (23/2), Am lebih banyak berdiam diri. "Saya menyesal menusuk Syaiful dan mau minta maaf padanya," katanya dengan suara pelan. Ia pun mengakui, mencuri ponsel Syaiful sehari sebelum penusukan terjadi lalu menjualnya dengan harga Rp 110 ribu. "Disuruh dua teman saya," dalih Am saat ditanya alasan mencuri ponsel Syaiful. Uang Rp 110 ribu itu, tuturnya, langsung dibagi tiga.
Syaiful yang tahu ponselnya diambil Am, memintanya kembali. "Saya ajak bertemu di Jalan Bandung di Cinere, Jumat (17/2) pagi." Kala itu, Am tak sendirian. Ia mengajak dua temannya yang berbagi uang ponsel. "Saya mau menyelesaikan masalah baik-baik, tapi syaiful enggak mau. Dia tetap minta ponselnya dikembalikan. Saya jadi emosi, makanya saya tusuk dia dengan pisau," ujar Am yang sengaja membawa pisau dari rumah kontrakan kakak lelakinya di Cinere. Sejak hampir setahun terakhir, siswa kelas 6 SD ini memang menumpang tinggal di sana.
Seusai menusuk Syaiful, Am dan kedua temannya kabur ke Mal Cinere dengan angkutan kota. "Saya enggak tahu bagaimana kondisi Syaiful setelah itu karena saya ketakutan ditangkap polisi," kisah Am menuturkan perasaannya selama berada di mal.
Pesan Ayah
Beberapa jam kelayapan di mal, anak berperawakan kurus ini pulang ke rumah kontrakan kakaknya. Ternyata polisi sudah menantinya. Pisau yang digunakannya untuk menusuk Syaiful, akhirnya juga ditemukan polisi. "Pisaunya jatuh ke selokan saat mau dimasukkan tas."
Sejak itulah Am ditahan. Ia tampak murung ketika bertutur, kakaknya yang selama ini ditumpanginya belum menengoknya sekali pun sejak ia ditahan. Sementara kakak lainnya yang tinggal di Bandung dan ibunya bermukim di Lampung, sudah menengoknya, meski hanya satu kali. "Ibu datang bawa duku kesukaan saya dan pakaian. Pesan Ibu, saya harus sabar menjalani semua ini," ujarnya muram.
Ditanya soal hobinya, Am jadi teringat ayahnya yang meninggal setahun silam karena sakit. Katanya, ia dan sang ayah dulu sering main badminton bersama. "Di rumah ada raket, punya Bapak," ujar Am sambil menambahkan, semasa hidupnya sang ayah bekerja sebagai penjahit. Anak berkulit gelap ini menuturkan, ia dekat dan sayang ayahnya karena sang ayah rajin beribadah.
Wajah Am langsung mendung saat ditanya pesan terakhir sang ayah. "Saya disuruh menyenangkan hati Ibu," ujarnya lirih sambil terisak. Sebetulnya, tambahnya, ia berencana tinggal bersama ibunya di Lampung untuk meneruskan sekolah setelah lulus SD nanti. Namun nasib berkata lain, ia harus mempertanggungjawabkan terlebih dahulu perbuatannya kepada Syaiful.
Selama paling tidak sebulan ini Am memang harus puas meratapi nasib di ruang tahanan Polsekta Beji. Hukuman pun sudah terbayang di depan mata. Am dijerat pasal tentang Perlindungan Anak dengan ancaman 12 tahun penjara. beruntung ia tak sendirian, karena konon sudah ada lima pengacara yang menyatakan bersedia mendampinginya. Polisi juga telah menyediakan psikolog anak dari UI.
Pendampingan itu, kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dr. Asrorun Ni'am Sholeh, MA, bukan untuk membenarkan perilaku Am. "Kami ingin memastikan proses hukum ditangani dengan senantiasa memerhatikan anak-anak. Apalagi dia sedang persiapan Ujian Nasional (UN), maka haknya untuk mengenyam pendidikan dan menjalani ujian harus dipikirkan tanpa melukai rasa keadilan bagi korban dan masyarakat."
KOMENTAR