Dari jendela kamar, saya lihat dua orang mengangkat sesosok mayat. Dari kakinya yang berbulu, saya menduga itu adalah mayat Pak Purnabawa. Setelah meletakkannya di mobil, mereka masuk dan mengangkut mayat yang lain lagi. Ketakutan dan merasa sesak napas, saya ke luar kamar untuk mengambil air minum. Saat berjalan menuju dapur, saya lihat salah satu dari mereka masuk kamar Ibu Ayu dan membuka lemari.
Cepat-cepat saya lari lagi ke kamar. Rupanya mereka baru saja selesai mengangkut mayat yang ketiga. Di situ seluruh persendian di badan saya rasanya lemas sekali. Saya terduduk dan menangis. Saya baru bisa menguasai emosi saat Heru kembali ke kamar dan meminta saya menggendong Agus mengikutinya.
Kami masuk ke mobil. Heru duduk di belakang setir, sementara saya di sebelahnya memangku Agus. Saya perhatikan, total ada tiga orang teman Heru. Dua di antaranya masing-masing mengendarai motor, ditambah satu lagi yang mengambil posisi duduk di bagian tengah mobil yang kami tumpangi. Setelah mereka mengunci pintu dan mematikan lampu, kami melaju.
Di tengah jalan, kami sempat berhenti untuk mengangkut satu lagi teman mereka. Mobil kembali berjalan, mencari tempat untuk membuang mayat-mayat. Sekitar jam 05.00 WITA, kami berhenti dan membuang tiga mayat keluarga Purnabawa di sebuah kebun. Seusai itu, kami melanjutkan perjalanan dan sempat berhenti di Banyuwangi untuk mencuci mobil serta mandi.
Saat itu saya memang kepikiran untuk kabur dan lapor polisi. Tapi saya takut pada teman-teman Heru. Apalagi saya tak membawa apa-apa selain yang melekat di badan. Ponsel juga tidak bawa, jadi saya enggak bisa menghubungi siapa pun.
Ingin Bersama Agus
Kami tiba di kediaman orangtua Heru di Situbondo pukul 11.00. Hanya beberapa hari di sana, tiba-tiba polisi datang ke rumah meringkus kami. Jelas saya kaget dan takut. Saya dan Heru kemudian dibawa ke Polsek Panji sebelum dibawa lagi ke Polres Situbondo. Hari Rabu (22/2) sekitar jam 03.00, saya dan Agus dibawa ke Polsek Denpasar.
Saya masih bisa bersyukur karena Agus diperbolehkan bersama saya di sini. Agus, kan, masih menyusui. Saya juga sempat memikirkan nasib Heru. Sungguh, saya takut dan menyesal. Saya menyesal karena saat itu tidak menghubungi orang-orang dan tak bisa ke mana-mana. Saya hanya bisa pasrah. Cuma satu permintaan saya, Agus jangan dilepas dari saya. Itu saja.
Soal ancaman hukuman penjara, saya minta dengan sangat jangan sampai dihukum lama. Saya enggak mau. Saya takut kehilangan anak saya. Saat ini, saya hanya ingin minta maaf ke keluarga korban. Saya mau minta maaf sebanyak-banyaknya ke mereka. Sungguh, saya menyesal.
Kasur & Dinding Penuh Darah
Ditinggalkan satu keluarga dengan cara seperti itu, tentu membuat keluarga besar I Made Purnabawa (28) syok berat. Adalah I Komang Araina, adik Made, yang pertama kali menyadari keluarga kakaknya menghilang secara misterius. "Pintu pagar rumah kakak saya jebol. Pintu rumahnya tertutup tapi tidak terkunci rapat. Saat saya masuk ke dalam, semuanya rapi tapi ada lap yang penuh bercak darah di depan pintu kamar keponakan saya," ujar Komang.
Saat mengintip lewat lubang ventilasi kamar kakaknya yang terkunci, ia terkesiap. Seprai dan bantal di kamar utama itu sudah raib, sementara dinding kamar dan kasur penuh darah. Belakangan diketahui, ketiga mayat dibungkus dengan seprai dan bedcover saat dibuang. Setelah usaha Komang untuk menghubungi kakaknya melalui telepon dan BlackBerry Messenger (BBM) tak berhasil, ia segera melapor ke polisi.
Dari olah tempat kejadian perkara (TKP), "Diketahui laptop Risna hilang. Emas dan barang-barang yang laku dijual juga raib semua," kisah Komang sedih. Melihat keadaan rumah yang seperti itu, tipis harapan bahwa keluarga kakaknya tersebut selamat.
Benar saja, selang beberapa hari, ketiga mayat keluarganya tersebut ditemukan di sebuah kebun di daerah Jembrana. "Saya tak habis pikir, kenapa Heru dan Putu tega sekali. Kakak saya memang wataknya keras, tapi dia itu baik," ujar Komang yang mengaku tak terlalu mengenal baik pasangan yang bekerja pada Made. "Awalnya mereka rajin bekerja makanya kakak ipar saya suka. Tapi lama-lama, kok, mereka seperti iri dengan kakak saya."
Dari Made juga Komang mengetahui perangai Heru yang sering keluyuran malam-malam. "Pernah motor yang dipinjam Made dari rental, rusak oleh Heru. Dia mengecat ulang motor itu, tapi tak jujur bicara pada kakak saya kalau sudah merusakkan motor itu. Toh, mereka belum dipecat kakak saya," cerita Komang yang bersama keluarga besarnya hanya bisa berharap agar para pelaku dihukum seberat-beratnya.
Renty Hutahaean
KOMENTAR