Saya tidak tahu kenapa pembunuhan keji itu sampai terjadi. Mungkin karena suami saya, Heru Hendiyanto, sakit hati dan memendam dendam pada keluarga Purnabawa. Entahlah.
Yang jelas, malam sebelum kejadian, Senin (13/2), Heru memang sempat ngomong ke saya. Dia bilang, "Saya sakit hati terus menerus dibeginikan. Saya dendam. Nanti saya bunuh dia!" Kaget saya mendengar pernyataannya yang terakhir. Saya pikir dia hanya bercanda ketika mengatakan ingin menghabisi I Made Purnabawa, istrinya, Ni Luh Ayu Sri Mahayoni, dan anak mereka, Ni Wayan Risna Ayu Dewi. Tapi waktu itu wajah Heru tidak sedang bercanda, dia serius sekali.
Khawatir, saya lantas bertanya, "Maksudnya?" Dia menjawab, "Lihat saja nanti." Saya yang sudah bersiap mengeluarkan kata-kata untuk mencegahnya, urung karena melihat Heru begitu terbakar amarah.
Kawin Lari
Apa yang membuat suami saya begitu marah pada keluarga yang sudah menampung kami ini, rasanya perlu saya ceritakan dari awal. Saya bertemu dengan Heru sekitar empat tahun lalu di Buleleng, Bali, daerah asal saya. Waktu pertama bertemu, saya nilai dia sebagai orang yang baik dan polos. Heru sendiri berasal dari Situbondo, Jawa Timur. Ketika kami dekat, entah kenapa Ibu saya tidak merestui hubungan kami. Tidak sampai satu bulan pacaran, Heru membawa lari saya ke Banyuwangi. Tidak lama setelah itu, saya pindah keyakinan mengikuti Heru dan kami menikah siri. Awalnya kami tinggal di Banyuwangi, tapi beberapa bulan kemudian kami kembali ke Bali. Sehari-hari Heru menjadi sopir mobil boks pengantar nasi di daerah Canggu.
Beberapa lama setelah itu, saya hamil dan melahirkan bayi laki-laki, Agus Setiawan. Meski sudah ada Agus, Ibu tetap tidak mengizinkan saya kembali ke rumah. Jadi, kalau kangen dengan Bapak dan adik, saya pulang diam-diam. Saat Agus berusia tujuh bulan dan mendekati hari raya Pagarwesi, saya memutuskan pulang atas permintaan adik saya. Lagi-lagi Ibu menolak dan mangusir saya. Saat itu tahun 2010.
Akhirnya saya tinggal di rumah bibi, Luh Ayu Sri Mahayoni atau Ibu Ayu. Ternyata Ibu Ayu malah meminta saya bekerja untuknya. Saya dan Heru kemudian sepakat pindah ke Bali, tinggal di rumah Ibu Ayu dengan membawa serta anak kami, tepatnya sejak Agustus 2011. Di situ saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sementara Heru bertugas antar-jemput Risna, anak mereka yang masih sekolah. Awalnya Ibu Ayu menjanjikan Rp 700 ribu per bulan sebagai upah kami. Pertimbangannya, dulu Heru mendapatkan bayaran sebesar itu saat bekerja di Canggu.
Janji rupanya tinggal janji. Setelah sebulan bekerja, kami hanya dibayar Rp 400 ribu untuk berdua. Saat itu saya hanya diam. Pikir saya, yang penting masih dikasih uang. Toh, beras dan sayur untuk makan keluarga kecil kami, ditanggung mereka.
Tak disangka, bulan berikutnya Ibu Ayu menurunkan gaji dan kami hanya menerima Rp 300 ribu. Meski merasa kurang, kami tetap bekerja seperti biasa. Saya tetap mencuci dan mengepel. Heru tetap mengantar-jemput Risna dan membersihkan halaman.
Sesungguhnya kami pasti betah-betah saja bekerja di situ bila keluarga ini memperlakukan kami dengan baik. Sayangnya tidak. Ibu Ayu memang tak pernah keras pada saya. Tapi Risna... Duh, kelakuannya kadang sangat menyakitkan hati. Misalnya saya masak keasinan, dia akan bilang, "Masaknya keasinan, memang enggak punya mata apa!" Sering sekali saya dibentak-bentak oleh anak berusia 9 tahun ini. Toh, saya tahan sakit hati ini. Heru juga kerap menerima perlakuan serupa dari Risna. Pak Purnabawa wataknya juga serupa dengan putrinya. Meski pendiam, tapi kalau menyuruh sambil membentak-bentak. "Heru, cuciin mobilnya! Saya mau kerja!" begitu saya sering dengar dia membentak suami saya.
Bulan berikutnya, bayaran kami menyusut menjadi Rp 200 ribu. Sudah begitu, beras dan sayur tak lagi disediakan buat kami makan. Saya, kan, masih menyusui Agus. Anak saya juga perlu makan. Mana cukup dengan uang Rp 200 ribu? Menambah pendapatan, Heru diam-diam mulai bekerja sebagai sopir bagi seorang bule yang tinggal di dekat rumah.
Entah keluarga Purnabawa tahu atau tidak Heru bekerja sambilan, yang jelas di bulan kelima kami sama sekali tak terima gaji. Saya sempat bertanya pada Ibu Ayu, yang kalau di rumah saya panggil dengan sebutan Mbok. "Mbok, kenapa sudah satu bulan ini saya tidak dikasih gaji? Sedangkan beras saya enggak ada. Sayur juga enggak Mbok beliin. Saya di sini, kan, butuh makan," begitu saya bilang. Dia tidak menjawab apa-apa. Dengan wajah cemberut, dia masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Saya bingung. Mau pindah, kami tak punya tabungan.
Ibu Ayu memang punya bisnis spa yang berlokasi di Kampial, tapi spanya sepi sekali. Sementara Pak Purnabawa bekerja sebagai sopir dan guide untuk mengantar tamu. Hingga minggu pertama Februari, gaji kami tak dikasih juga. Perasaan saya saat itu kesal dan sakit hati. Semuanya bercampur jadi satu.
Terdengar Jeritan
Rasanya itulah yang menjadi pemicu emosi Heru malam itu. Kepada saya dia berkata, "Gaji enggak dikasih, anak diperlakukan enggak kayak manusia, kamu juga dibeginikan. Saya sakit hati!" Setelah perbincangan itu, sekitar jam 00.30, Heru menerima SMS. Entah dari siapa. Saya lihat dia membalas SMS itu. Tak berapa lama, ada SMS masuk lagi. Wajah Heru mendadak tegang.
Sayup-sayup saya dengar pintu belakang dibuka lalu ditutup dengan hati-hati. Entah oleh siapa. Sepertinya ada orang masuk, tapi saya tak yakin berapa jumlahnya. Sungguh, saya takut sekali. Dalam diam, saya dan Heru saling berpandangan di kamar kami yang pintunya tertutup.
Tak lama, saya dengar pintu kamar Risna dibuka lalu ditutup kembali. Sejenak suasana kembali sunyi. Tiba-tiba saya dengar suara Pak Purnabawa memekik tertahan diikuti bunyi 'pak pok, pak pok' seperti orang dipukul. Setelah itu terdengar jeritan seseorang, tapi saya tak yakin suara siapa. "Aaah...!" lantas kembali sunyi. Segala kemungkinan terburuk berkelebatan di benak saya. Tubuh saya gemetar hebat. Sepanjang kejadian itu, saya tidak bertanya apa pun ke Heru. Saya cuma ngomong, "Saya takut," tapi dia diam saja.
Kesunyian terpecah ketika tiga orang bertopi dan bertopeng membuka pintu kamar kami. Saya tak kenal siapa mereka karena seluruh wajah, kecuali mata mereka, tertutup. Mata mereka merah. Mereka kemudian bicara pada Heru dengan bahasa Madura yang tak saya mengerti. Seusai berdiskusi, mereka ke luar dari kamar. Lagi-lagi mereka menuju kamar Ibu Ayu. Saya tahu hal itu dari suara pintu kamar yang dibuka dan ditutup lagi.
Setelah itu mereka kembali ke kamar kami, kali ini sudah melepas penutup wajah, sambil mengajak Heru ke luar. Suami saya mengikuti mereka dari belakang dan berjalan menuju garasi. Dari jendela kamar, saya lihat Heru mengeluarkan mobil.
Renty Hutahaean / bersambung
KOMENTAR