Sekolah Master Sekolah Anak Jalanan
Nurrohim adalah penggagas sekolah gratis Master (Masjid Terminal) Depok sejak 2000. Letaknya di sebelah terminal Depok di bawah jembatan fly over. Tadinya kawasan ini merupakan daerah prostitusi, tempat minum-minum, dan main biliar. "Yang memprihatinkan, ada rumah ibadah di sini. Pengurus masjid mengeluh karena tiap pagi harus membersihkan lantai masjid yang dipenuhi muntah para pemabuk," kenang bapak empat anak yang akrab dipanggil Rohim.
Rohim yang semula tinggal di Tanah Abang adalah sosok yang memiliki naluri bisnis. "Naluri itu saya dapat dari keluarga. Saya suka beli kios di stasiun dan terminal. Makanya, saya sudah terbiasa berinteraksi dengan anak jalanan, sopir, dan kondektur," papar Rohim yang mengaku paling prihatin melihat kondisi anak-anak yang tak bisa sekolah karena orangtuanya tak mampu.
Dengan niat berbagi ilmu dan rezeki, "Saya mendirikan sekolah alternatif untuk anak terlantar. Kalau mereka punya ijazah, kan, jadi punya daya saing sehingga peluang kerja bisa lebih terbuka. Dananya saweran dari beberapa teman."
Berbagai fasilitas pun tersedia di Master, di antaranya Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang buka hingga jam 12 malam, Taman Bacaan Anak (TBA), dan laboratorium. Saat ini, Rohim sedang menambah fasilitas TBA dengan membangun ruangan khusus TBA. "Ruangannya akan lebih terbuka. Budaya baca perlu sejak dini ditanamkan. Jendela ilmu itu ada di buku."
Selanjutnya, Rohim mulai menjalin kemitraan dengan banyak pihak, antara lain Pemda Kota Depok, Dinas Arsip, Fakultas Ilmu Budaya UI, Tupperware, Bank Permata, dan Bank Mandiri. Dengan tiga perusahaan yang disebut belakangan, "Lulusan Master bisa magang di sana. Kalau sesuai standar mereka, bisa dipakai terus."
Belakangan, Rohim juga menjalin kerjasama dengan Ibu Kiswanti, pemilik warung baca Warabal. "Kami meletakkan rak buku di tempat anak bermain atau nongkrong. Atau di tempat ibu-ibu menunggu anaknya sekolah, di masjid, atau di terminal." Tanpa disadari sebenarnya mereka sedang dicekoki buku. "Lama-lama, kan, mereka jadi terbiasa membaca."
Di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang baru dibangun di Terminal Terpadu Amplas, Medan, anak-anak jalanan, pedagang asongan, dan penyemir sepatu berkumpul. Dengan bersemangat mereka membolak-balik berbagai buku di tempat yang dibangun oleh Manahan Sitanggang (45). "Saya ingin merangkul anak-anak putus sekolah. Dengan adanya TBM ini, semoga mereka jadi banyak pengetahuan," ujar pria asal Sumatera Utara ini.
Mengapa mendirikannya di terminal? Menurut Manahan, terminal adalah salah satu pusat berkegiatan masyarakat marjinal yang selama ini luput dari perhatian. Nama Gerhana dipilih karena melambangkan keadaan gelap menjadi terang. "Saya ingin masyarakat ini jadi gemar membaca dan 'melek' ilmu."
KOMENTAR