Selalu Ditolak
Lalu apa pembelaan Pak Min? "Rumah itu mau dijadikan milik dia. Ya, tidak boleh, dong! Lha wong saya beli dan membangunnya dengan istri pertama. Dia tinggal di sana, kan, karena jadi istri saya. Setelah tidak jadi istri, ya, seharusnya kembali ke asalnya semula," ujar juragan sate ini yang memakai nama Pak Min sebagai merek dagangnya.
Tuduhan bahwa ia menjual rumah tanpa sepengetahuan Yati pun ditampik keras. Rencana penjualan rumah, katanya, sudah ada sejak lama dan diketahui Sutarseh (48), istri pertamanya. "Rumah itu saya beli sebelum menikah dengan Yati, sekitar tahun 1994. Saya menikahi dia tahun 1995," tukas Parimin seraya menunjukkan surat sertifikat rumah atas nama dirinya. "Jadi, rumah itu bukan hak dia! Saya dan istri pertama menjual mobil, sawah di kampung, dan perhiasan untuk membelinya."
Untuk Yati, lanjutnya, ia sudah memberi solusi tapi selalu ditampik. "Saya tawari tinggal di Karang Satria, di tanah milik saya yang luas dan di pinggir jalan, ditolak dengan alasan tidak enak. Saya tawari untuk beli rumah baru di lingkungan Tambun, dia juga tidak mau," ujar Pak Min yang yakin Yati tak bakal menang di pengadilan. Selain tak cukup bukti bagi Yati untuk menuntut rumah yang bukan haknya, "Pernikahan kami juga tidak tercatat di KUA mana pun karena waktu menikah saya masih berumah tangga. Saya menikahi dia secara siri di Duren Sawit," lanjut Parimin seraya menunjukkan salinan surat nikah yang didapatnya dari Pengadilan Agama Cikarang. "Surat ini pun buatan Yati sendiri. Lihat, status kami di sini gadis dan perjaka, padahal saat itu dia sudah janda dan saya sudah menikah."
Soal pengusiran, kata Pak Min, "Tuduhan itu hak setiap orang tapi yang sebenarnya yang saya utarakan. Kan, sudah dijual, otomatis sudah milik orang lain." Yang membuatnya kecewa, Yati membawa-bawa anak mereka dalam perseteruan memperebutkan rumah. Padahal, "Saya sudah berinisiatif tetap menafkahi anak-anak. Masalahnya dia menanggapi dengan tuntutan tak masuk akal. Mereka minta biaya sampai menikah pun, saya sanggupi. Eh, Yati malah minta biaya tanpa mau menyebut berapa besar. Sudah begitu, masih minta rumah itu. Saya bilang ke anak-anak, kalau minta rumah untuk tinggal dengan mamanya, saya tolak karena mama mereka bukan lagi istri saya."
Meski komunikasi dengan kedua anaknya sudah tak lancar lagi, menurut Parimin, ia tak pernah menghindar atau sulit dihubungi. "Mereka sudah dewasa dan tahu saya di mana. Kalau mau ketemu juga tahu bagaimana caranya. Tapi kalau bertemu hanya mau mencaci maki saya, lebih baik tak usah," katanya dengan nada keras.
Henry Ismono, Laili Damayanti
KOMENTAR