Meski tak pernah menyangka musibah ini akan merenggut nyawa anakku, aku dan suamiku, Subiyanto Halim (50) telah ikhlas melepas kepergian putri pertama kami, Angelina Yofanka. Fanka adalah panggilan akrab untuknya. Menyebut namanya saja, masih terbayang di benak kami wajahnya saat tersenyum manis.
Seminggu sebelum Fanka mengikuti kegiatan rafting, seperti biasa ia pulang ke Bekasi, rumah kami. Sejak kuliah di Jurusan Teknik Kelautan ITB tahun 2009, ia memang kos di Bandung. Saat pulang itu ia bilang, "Ma, Pa, minggu depan (Minggu, 5/2) aku ada latihan rafting di Garut, ya." Mendengar itu, suamiku sempat melarang. Ia khawatir karena saat ini cuaca mudah berubah dan kerap hujan deras.
Aku pun sependapat. Tapi, Fanka bersikeras, "Mama Papa enggak usah khawatir, aku sama Yuli, kok. Lagian rafting-nya gabungan dengan teman-teman pecinta alam dari kampus lain," katanya meyakinkan. Yuli adalah teman sekolahnya dulu yang kini juga kuliah bareng. Mendengar rayuannya kami pun melunak.
Aku dan suamiku hapal betul watak keras Fanka. Jika sudah punya mau ia pasti akan mewujudkannya dengan cara apa saja. Selain itu, aku tak ingin ia jadi murung karena keinginannya tak bisa terlaksana. Ya sudahlah. Toh, asal positif kami selalu izinkan ia berkegiatan apa saja.
Sehari sebelum rafting Sabtu (4/2), suamiku menelepon Fanka. Fanka cerita ia sedang berendam air hangat di Cipanas, besoknya baru rafting. Hanya itu kabar terakhir yang kami terima. Dari suaranya yang ceria, kami yakin Fanka akan baik-baik saja dengan kegiatan alam bebas yang jadi hobinya. Sungguh kami tak menyangka esoknya ia dinyatakan hilang.
Seorang teman Fanka mengabari suamiku pukul 16.30 sore setelah kejadian. Dia bilang, Fanka dan tiga temannya terjatuh saat perahu tersangkut batu. Arus air yang deras mengisi bagian tengah perahu membuat perahu hampir terbalik. Empat dari enam peserta melompat ke sungai, sementara dua orang lainnya berusaha membalikkan perahu. Fanka yang turut melompat hanyut terseret derasnya arus sungai. Sejak kejadian pada pukul 12.30 tersebut hingga sore, statusnya masih dalam pencarian. Bersama warga, sebagian tim melakukan pencarian di daerah sekitar lokasi dengan tenaga dan alat seadanya.
Hari itu juga kami bergegas ke kampus Fanka di ITB Bandung. Herannya, tak terlihat orangtua lain yang mencari informasi keberadaan anaknya seperti halnya aku dan suamiku. Di situlah baru kami diberitahu, hanya Fanka peserta arung jeram yang belum ditemukan. Ia terjatuh dan tak kunjung timbul ke permukaan air, sementara tiga teman lainnya berhasil diselamatkan oleh tim penyelamat yang sudah bersiaga di tepi kanan dengan tali lempar. Ya Tuhan, tak karuan hatiku mendengar berita ini. Di mana anakku? Bagaimana kondisinya?
Aku dan suami lalu bergegas mencari bantuan kepada keluarga besar. Meskipun pihak kampus juga mengerahkan bantuan bekerjama dengan Tim SAR gabungan, Polisi, dan TNI Kodim Garut, kami tak mau berpangku tangan. "Lakukan apa saja semaksimal mungkin, pokoknya bagaimanapun Fanka harus ketemu," ucap suamiku.
Kami bertolak ke Garut hari Senin (6/2) pagi. Helikopter sempat disewa untuk memantau keberadaan Fanka dari udara tapi tak membuahkan hasil. Kami juga meminta Sungai Cikandang dibendung agar memudahkan penyelaman. Derasnya arus sungai ditambah banyak bebatuan dan pusaran air membuat Tim SAR gabungan kesulitan mencari tubuh anakku.
Tak tinggal diam, kami juga meminta bantuan dari anggota Marinir TNI Angkatan Laut. Sambil menunggu, kami sempat menanyakan keberadaan Fanka pada orang pintar. Banyak yang mengatakan Fanka ada di dalam air, terjepit bebatuan. Ada juga yang bilang seharusnya sebelum mulai arung jeram, mereka sowan dulu kepada penunggu alam setempat. Bahkan, salah satu dari mereka bilang, Fanka akan ditemukan hari Rabu atau Jumat sore. Katanya, saat itulah ia akan dilepaskan dari cengkraman si penunggu air.
Penduduk desa setempat juga sempat melakukan ritual adat. Konon kata mereka, lokasi hilangnya Fanka di kawasan Leuwi Peer, Kampung Cibihbul, Desa Tanjungjaya, memang daerah angker.
Entah benar atau hanya kebetulan, tepat jam 17.59 WIB peluit ditiup salah seorang anggota marinir yang menyelam, menandakan tubuh Fanka ditemukan. Tubuhnya terjepit bebatuan di lubang akibat arus (under cut) di dasar sungai dengan kedalaman sekitar 9 meter, tidak jauh dari lokasi jatuhnya Fanka dari perahu karet. Ia masih menggunakan jaket pelampung dan helm, prosedur standar yang digunakan ketika berarung jeram.
Meski lega karena Fanka akhirnya ditemukan, sebagian hatiku hancur karena ia sudah tak lagi bernyawa. Kondisi jasadnya pun sungguh memilukan. Meski tubuhnya masih utuh, namun karena empat hari terbenam dalam air kulitnya mengelupas, tubuhnya membengkak dan kaku. Ah, tak kuat aku mengingatnya.
Fanka, sungguh kami berharap engkau ditemukan dalam keadaan sehat. Namun takdir rupanya berkata lain.... Maafkan Papa dan Mama, Nak. Sekuat tenaga kami mencarimu, namun terlambat.
Ade Ryani HMK / bersambung
KOMENTAR