Menjalankan bisnis handmade di awal ear 1990-an tentu sangat jauh berbeda dengan zaman sekarang. Dulu orang belum begitu konsumtif dengan handycraft. Tak heran jika banyak usaha handmade yang timbul tenggelam.
Melihat kenyataan ini aku tak berkecil hati, semua tetap kujalani dengan telaten. Bahkan ketika suami harus berhenti kerja, usaha ini yang kemudian mengambil alih penghidupan keluarga. Perlahan tapi pasti aku terus melaju dengan semua kekuatan yang ada. Hasilnya, usahaku tetap berjalan bahkan terus berkembang.
Aku bisa bertahan dengan konsep pemasaran yang jitu. Pemasaran caraku ini tidak perlu mengeluarkan biaya besar, justru sangat sederhana. Kerjakan semua pesanan dengan sepenuh hati, sesuai kemampuan yang dimiliki. Jika pelanggan sudah puas, mereka yang merekomendasikan produk ke orang lain tanpa diminta. Tak perlu beriklan atau harus bekerja sama dengan wedding organizer.
Agar lebih profesional, anak-anakku juga kini turut membantu soal administrasi. Anak pertamaku yang sudah lulus kuliah sekarang sudah ikut membantu usaha ini secara penuh. Sedangkan anak kedua, meski sudah bekerja kantoran tiap akhir minggu juga kerap ikut turun tangan.
Jika ditanya apa yang istimewa dari Genah? Rasanya aku tidak mau sombong bila kami punya kelebihan. Bagiku semua terasa biasa saja. Tetapi herannya, setiap saat pemesan datang silih berganti. Mulai dari orang biasa sampai pejabat tinggi. Mulai dari order berjumlah kecil sampai yang jumlahnya ribuan. Bisa jadi inilah kunci usaha yang kubesarkan selama ini, kiat bertahan adalah mempertahankan mutu. Bukan hanya soal mutu produk tapi juga mutu pelayanan.
Sementara soal produk sudah pasti dari kerapihan dan bahan yang dipergunakan. Sebetulnya, bahan yang kupergunakan tak selalu dari luar negeri. Justru lebih banyak dari Pasar Tanah Abang. Selain itu aku berusaha membuat ciri khas sendiri, terutama jika barang yang kuproduksi sudah terlalu banyak dijual di luaran. Misalkan, aku beri tambahan bordir atau renda sebagai kombinasi. Begitu pula dengan modifikasi atau model produk baru, aku kerap mengadaptasinya dari model yang ngetren di luar negeri. Jadilah, produkku ini tak biasa dari yang sudah ada.
Dari sisi pelayanan aku juga selalu melakukan hal-hal yang lebih dibanding yang lain. Pertama, aku selalu terbuka terhadap masukan para pemesan. Sebisa mungkin kukerjakan, sepanjang bisa dilihat dan ditiru, akan kuupayakan asal bahan masih bisa didapat. Ibaratnya, apa yang diminta aku beri!
Namanya juga bisnis handmade, kebanyakan barang dibuat berdasarkan pesanan. Bisnis ini jadi laku, mungkin karena orang lebih suka jika barangnya berbeda dari yang lain. Kadang memang benar-benar beda karena aku melihat referensi dari katalog luar negeri, atau sekadar ditambah aplikasi di sana sini. Semua kuladeni dengan pikiran terbuka.
Pelayanan yang kuberikan bukan hanya soal pemesanan produk. Beberapa pemesan ada yang senang "dilayani" dulu. Begini, kadang aku harus mendengarkan mereka bercerita panjang lebar tentang apa saja. Yang terpenting menyenangkan hati pemesan yang datang ke rumah. Ha ha ha...
Kadang sepele, kok, orang datang kami perlu tahu maunya apa. Setelah berdiskusi, ide-ide itu akan berkembang. Bila kami bisa mengakomodir, bisa-bisa si pemesan malah pesan lebih banyak. Jika sudah begitu, kami juga yang senang, kan?
Menjalankan usaha sendiri tentu pernah merasakan suka dan duka. Duka yang paling kurasakan ketika tahun 1999 suami terkena 'surplus' harus pensiun dini. Alhamdulillah, setelah bergerak di bidang handmade sejak awal 1990-an, usahaku sudah lumayan berjalan dan dipercaya banyak orang. Ternyata, justru kondisi ini membuat kami sekeluarga lebih fokus mengelola usaha. Suami yang tadinya tidak terlibat di dalam usaha, kemudian mulai menambahkan modal dan mendukungku menyeriusi di bidang ini.
Nah, karena sejak tahun 2000 aku lebih banyak menerima pesanan kotak, aku lalu ambil tenaga laki-laki untuk memotong karton. Tenaga ini aku pekerjakan sesuai kebutuhan. Pernah saking banyaknya pesanan, aku sampai punya 9 orang tenaga penjahit.
Sayang, melihat kesuksesan yang kuraih, ada saja pihak yang beritikad tidak baik. Penjahit yang sudah lama ikut aku, "ditelikung "oleh pemilik konveksi lain. Kompetitor ini melihat produkku bagus, jadi ingin memiliki penjahitnya. Aku pasrah saja, yang penting tetap berdoa dan berbuat baik pada orang lain. Ternyata, meski dicurangi orang lain usahaku justru berkembang semakin ramai.
Sementara soal penjualan, aku juga kerap mengalami nasib buruk. Pernah aku ikut pameran dan kurang laku hingga merugi. Pernah juga produk dipajang di SMESCO tapi tak ada yang pesan. Kendati demikian, aku selalu berusaha belajar. Setiap kali ikut pameran, aku melihat ke kanan dan kiri untuk mengetahui selera pasar. Barang apa saja yang laku dan apa yang disukai pembeli.
Selain pengalaman buruk tak laku, ditiru pun aku pernah mengalami. Tak masalah, toh, rezeki sudah ada yang mengatur. Begitu keyakinanku. Asalkan mau belajar hal-hal baru, bisnis ini tak akan ada matinya. Pernah juga aku menghadapi permintaan klien yang terlalu berbelit dan kurang jelas sehingga susah menginterpretasikannya. Jika sudah begini, proses pengerjaan menjadi lama. Trik yang kugunakan, kubuat dummy terlebih dahulu. Jika klien sudah mengiyakan barulah produksi yang sesungguhnya kumulai.
Tapi kalau dummy sudah berkali-kali dibuat dan batal dipesan, ya, kupakai sebagai contoh display. Alhamdulillah, beberapa kali setelah kejadian batal, klien selanjutnya selalu ada yang mau. Malah pesannya lebih banyak. Dari situ aku sadar, risiko keluar tenaga dan waktu memang perlu dilakukan agar klien puas. Semua harus sudah diperhitungkan, baik dana maupun waktu.
Satu hal lagi yang selalu aku ingat dalam menjalankan bisnis ini, jarang menolak order. Pernah suatu ketika ada seorang ibu memesan 1.000 dompet, tapi dua minggu harus seudah selesai. Aku sempat pesimis memperhitungkan waktunya. Berhubung kulihat si ibu tadi sudah bingung, akhirnya aku menyepakati untuk membuat pesanan itu.
Bersama 5 orang pembuat kotak, 4 penjahit dan 2 orang finishing, ternyata pekerjaan itu tetaplah mustahil diselesaikan. Akhirnya kutarik beberapa mantan pegawai lamaku untuk ikut membantu. Akhirnya order itu dibayar sesuai barang yang kuselesaikan. Sisa jumlah yang belum selesai kujanjikan akan kukirim menyusul, dan ia menyetujuinya.
Kegigihanku menjalankan bisnis ini pun sempat berbuah penghargaan. Genah pernah mendapatkan penghargaan Usaha Penghasilan Tambahan Perwakilan PKK Jakarta Selatan. Ini juga yang membuat usahaku kian dikenal orang.
Nah, sekitar Oktober 2011 lalu, datang lah order dari Pak Hatta Radjasa untuk penikahan putrinya, Aliya. Aku tentu tersanjung sekali. Jujur saja, order itu lumayan rumit. Bayangkan, dengan tiga kali pertemuan kami sudah harus menghasilkan karya terbaik sesuai pesanan.
Bahannya pun tak main-main, pesanannya berupa kotak seserahan berbalut kain songket Palembang yang mahal. Otomatis pengerjaannya harus ekstra hati-hati, khawatir gagal atau rusak sebelum dipergunakan. Kendati demikian, pada akhirnya kami berusaha menyelesaikannya tepat waktu.
Pengalaman melayani order dari orang-orang terkenal ini sebenarnya sudah beberapa kali kami jalani. Kami pernah mendapat order ibu-ibu pejabat lingkungan TNI untuk souvenir serah terima. Kami juga pernah mendapat pesanan Bapak Tri Sutrisno saat menikahkan anaknya, juga mendapat pesanan keluarga Keraton Solo untuk membuat keranjang seserahan dengan sulaman lambang Keraton Solo. Ini semua adalah buah ketelatenan kami merawat klien-klien sehingga banyak yang mereferensikan kami kepada yang lain.
Hingga kini, aku hanya melayani pemesanan langsung ke rumah. Soal showroom, sebenarnya aku sudah pernah memiliki pengalaman membuka showroom di Jalan Wijaya sekitar tahun 2000. Namun ketika semua terlihat kurang efektif, akhirnya showroom itu kututup dan kembali melayani dari rumah saja.
Bicara soal keinginan, suatu saat nanti aku ingin rumahku di Komplek IKPN F-20, Bintaro, ini akan menjadi showroom sekaligus tempat produksi. Ingin juga mendapat pembeli yang bisa memberi order setiap tahun atau dengan kontrak tertentu. Ya, semoga Genah memiliki masa depan yang tetap apik seperti arti namanya.
Laili Damayanti
KOMENTAR