Jika diingat ke belakang, semua yang kuraih ini mungkin tak akan terwujud bila aku tidak nekat. Ya, sebagai seorang lulusan D2 Sastra Inggris IKIP Malang, aku tak pernah memiliki gambaran akan menjadi seorang entrepreneur. Namun situasi lah yang melecutku untuk memulai usaha, yang bahkan tak pernah kubayangkan akan menjadi sebesar ini.
Andai saja dulu usaha ini tak kumulai, mungkin sekarang aku hidup dari mengandalkan dana pensiun suami saja. Namu dengan uang pensiun, mana mungkin anak-anak bisa menyelesaikan pendidikan tinggi seperti sekarang? Alhamdulillah, semua itu tak perlu terjadi. Berkat ketekunan dan kenekatanku, kini keluarga kami memiliki ladang usaha yang cukup subur.
Menekuni Hobi Lama
Tahun 1985, perusahaan minyak tempat suami bekerja memutuskan untuk memindahkan suami dari Balikpapan ke Jakarta. Sebagai istri, jelas aku harus mengikuti suami ke manapun ia berada. Apalagi aku memang memilih menjadi ibu rumah tangga, meski punya ijasah D2 Sastra Inggris. Ketika itu kami sudah punya satu anak. Meski awalnya was-was saat harus pindah ke ibukota, aku pikir tak apalah. Paling tidak, aku sudah kembali ke tanah Jawa, tempat asalku.
Hidup di Jakarta dengan satu anak dan satu gaji ternyata tak mudah. Maklum, keadaan ekonomi keluarga kami saat itu memang belum mapan benar. Mahalnya harga-harga kebutuhan hidup di Jakarta juga membuatku kelabakan. Di Jakarta, ibaratnya setiap kaki melangkah selalu membutuhkan uang. Banyak sekali biaya hidup yang mesti kami keluarkan.
Meskipun suamiku, Heru Setiawan (57), adalah pegawai swasta dengan nilai gaji yang lumayan, tetap saja rasanya berat jika tak ada pemasukan tambahan. Maka aku pun mulai memutar otak untuk mencari uang tambahan. Tetapi persoalannya, aku masih bingung mau usaha apa. Aku yang tak pernah berwirausaha sebelumnya juga sempat ragu untuk terjun ke dunia bisnis.
Kebetulan salah seorang kenalanku punya usaha pakaian bayi. Keberaniannya membuka usaha lantas membuatku berpikir, kenapa aku tak berani? Sekitar tahun 1987 aku menemukan ide usaha yang pas. Sudah sejak lama aku punya hobi membuat prakarya. Sembari menunggu suami yang kerap bertugas ke luar daerah, aku iseng melakukan hobi lamaku lagi.
Modal nekat, aku memutuskan membuat seprai, gordin, dan taplak meja. Aku pun mulai berkenalan dengan para pedagang di Pasar Tanah Abang untuk berbelanja bahan baku dan aneka pernak-pernik. Semua kujalani dengan penuh semangat. Padahal, saat itu aku masih tak tahu menahu soal kain. Pokoknya, benar-benar modal nekat saja. Kupikir, jika tidak nekat usaha ini tak bakal jalan. Modal awalku juga seadanya saja. Tak peduli akan laku atau tidak, aku hanya berusaha membuat kreasi terbaikku.
Setelah barang-barang itu kubuat, aku lantas memberi nama usahaku "Genah". Genah, dalam Bahasa Jawa berarti apik atau bagus. Harapanku saat itu, kreasiku dinilai cukup bagus dan bisa diterima pembeli. Genah juga merupakan doa bagiku, yang kuharap dalam setiap pembuatannya aku bisa selalu menjaga kualitas barang.
Pada awalnya, aku mencoba membuat satu seprai dan taplak meja. Aku lalu menjualnya ke para tetangga di sekitar rumah saja. Maklum, karena masih partai kecil aku belum berani menjajakannya ke lingkunganyang terlalu luas. Khawatir ketika banyak yang pesan malah kewalahan sendiri. Sempat terpikir, usaha handmade ini akan pasang surut. Apalagi di masa itu barang-barang handmade, kan, belum sepopuler sekarang. Tapi aku bertekad, jalanin saja meski harus door to door.
Dari hari ke hari aku terus mencoba menawarkan produkku. Mulai dari ajang arisan di kampung sampai di saat santai bercengkerama dengan tetangga. Pemasaran dari mulut ke mulut ini kulakoni dengan telaten. Aku tak kenal lelah memasarkan produk buatanku. Belakangan, ilmu yang kudapat menghadapi orang-orang yang berbeda justru menjadi pelajaran berharga buatku.
Setelah berpromosi gencar dengan cara tadi, orang-orang mulai memesan lebih banyak seprai. Setelah melihat hasil pengerjaanku, mereka terkesan dan ingin dibuatkan yang serupa. Setiap pesanan kukerjakan dengan sepenuh hati. Tak jarang, mereka yang puas dengan hasil pekerjaanku merekomendasikan produkku ke rekan atau keluarganya. Ternyata, pemasaran dari mulut ke mulut ini adalah cara paling efektif untuk memasarkan produk handmade.
Setelah usaha ini berjalan sekitar tiga tahun, aku mulai menjajal prospek lain. Aku, misalnya, sempat menjadi binaan BUMN sekitar tahun 1993 dan Jasa Raharja pada tahun 1998 berkat ajakan saudara. Sejak itu, aku mulai mendengar tawaran untuk mengikuti bazar di sejumlah departemen. Tawaran ini tentu kusambut dengan baik.
Di tahun-tahun itu, setiap sebelum lebaran atau selama bulan puasa memang selalu ada bazar. Aku usahakan rutin ikut bazar-bazar itu. Bazar ini juga memacuku mengembangkan jenis-jenis produk lainnya. Bukan hanya seprai dan taplak meja, tapi apa saja yang bisa kubuat lalu kujual. Dari situ juga lama-lama orang semakin tahu bahwa aku bisa membuat apa saja.
Begitulah, pemasaran lewat cara gethok tular dari para tetangga akhirnya berkembang ke sejumlah komunitas. Ibu-ibu Persatuan Istri Tentara (Persit) yang pernah memesan produkiku pun menyebarluaskan ke adik-adik tingkatnya yang akhirnya memesan juga. Begitu pula produk yang tadinya sekadar order pernak-pernik rumah tangga, meluas sampai ke suvenir handmade seperti tas tangan, tas mukena, dan lainnya. Apapun pesanannya, semua berusaha kupenuhi, namun aku tak memasok untuk pesanan yang dijual ulang. Ide ini adalah ideku sendiri, aku buat dan aku jual pun sendiri.
Seiring berkembangnya usaha, kebutuhanpun ikut bertambah. Dari yang kukerjakan sendiri, akhirnya aku harus dibantu dua orang tukang jahit untuk membantu menyelesaikan proses produksi. Itu pun dari kalangan tetangga saja karena lebih bisa dipercaya ketimbang mempekerjakan orang dari luar. Senang juga, akhirnya usahaku berjalan, terlebih bisa membantu orang-orang di sekitar mendapatkan penghidupan. Mereka kuberi upah berdasarkan barang yang bisa diselesaikan. Agar kualitasnya terjaga, aku membiasakan mereka mengerjakan semua di rumahku.
Sambil memenuhi pemesan yang makin membanjir, varian produkpun ikut bertambah. Calon pembeli juga kerap datang membawa contoh atau desain sendiri. Kadang, mereka juga mengkritik atau meminta tambahan ini-itu. Bagiku tak masalah, justru ini bisa menjadi keuntungan buatku. Di samping dapat model baru, juga ide baru.
Nah, menjelang krisis moneter di tahun 1998 datang kawan yang memiliki usaha pembuatan sofa untuk hotel. Kriswacik namanya. Beliau baru saja pulang dari luar negeri dan membelikanku buku tentang kotak kemasan. Kebetulan ia memiliki ide membuat kotak kemasan dari sisa bahan sofa yang banyak menumpuk di tempatnya.
Ia menunjukkan barang-barang apa saja yang bisa dibuat dari sisa-sisa kain itu. Katanya, bila aku bisa mengkreasikan seperti contoh di buku ia akan membelinya untuk suvenir hotel. Kusanggupi permintaannya. Aku anggap tantangan ini sebagai pengalaman baru. Awalnya ia memesan pigura dan kotak tempat pakaian. Para pelanggan lain yang melihat hasil kreasi kotak pakaianku ternyata banyak yang tertarik dan minta dibikinkan kotak antaran pernikahan.
Ternyata inilah awal mulanya aku terjun ke bisnis hantaran pernikahan dan set pernikahan. Padahal sebelumnya aku juga sudah mencoba membuatnya. Bedanya, dulu aku membuat hantaran hanya pakai kemasan keranjang. Kemasan kotak ini sesuatu yang baru dan unik buat pembeli. Apalagi jika kotaknya bisa dimodifikasi dengan berbagai ornamen kedaerahan.
Setelah usaha kotak kemasan ini berjalan, aku mulai mengembangkan diri ke membuat suvenir yang ternyata keuntungannya lebih menjanjikan. Kendati demikian, aku tak menolak jika ada yang pesan pernak-pernik rumah atau set kamar pengantin. Semua yang diinginkan klien, aku berusaha memenuhi sebisa yang kulakukan.
Laili Damayanti / bersambung
KOMENTAR