Setelah musibah ini, keluarga korban menuntut permintaan maaf secara langsung. Apakah sudah dilakukan?
Saya ingin sekali minta maaf. Beribu maaf saya untuk mereka. Dari awal kami ingin sekali dipertemukan dengan keluarga korban, tapi kami takut diserbu. Rumah juga didatangi wartawan, belum lagi teror dari orang asing. Kami tidak kabur, kok. Ani juga ingin ketemu langsung, sayangnya tidak diizinkan pihak Kepolisian karena masih dalam proses penyidikan. Tidak bisa Ani dibawa begitu saja.
Mudah-mudahan dalam waktu dekat, jika situasi dan kondisi sudah memungkinkan, kami bisa bertemu keluarga korban untuk menyampaikan maaf secara langsung. Sedikit-banyak kami juga mau membantu santunan untuk keluarga korban meski nominalnya mungkin tak pernah cukup. Yang jelas, kami ada itikad baik untuk ini.
Bagaimana Ibu mengetahui musibah kecelakaan tersebut?
Hari Minggu (22/1) itu, tepat setelah kejadian, Ani (panggilan Afriyani di keluarganya, Red.) telepon saya. Suaranya terdengar panik, "Bunda... Tolong aku, Bunda. Aku dapat musibah... Aku baru nabrak lima orang." (pada awal kejadian, polisi melansir korban tabrakan yang tewas berjumlah lima orang, Red.) Saat itu Ani masih berada di Polsek Lapangan Benteng, sebelum dipindahkan ke Polda Metro Jaya.
Jam 15.00 saya bertemu dia di Polda. Begitu ketemu, Ani langsung sujud menyembah kaki saya. Dia bilang, "Ani sudah bunuh orang, Bunda! Ani pembunuh. Kasihan mereka. Ani ingin minta maaf, ingin ketemu keluarga korban." (Yurnelli tak kuasa menahan tangis). Ani juga bilang dia siap menerima apa pun hukumannya nanti. Ani pasrah dan ikhlas karena dia sadar betul, seberat apa pun dihukum, tak bisa menggantikan nyawa para korban. Dia mengaku salah dalam musibah yang tak pernah diinginkannya ini.
(Isak Yurnelli semakin deras. Ia terdiam sejenak.)
Saat itu saya masih bisa menenangkan dia. Namun begitu dengar korbannya (yang meninggal) tambah banyak, saya enggak kuat. Badan langsung lemas lalu pingsan. Entah bagaimana, bangun-bangun saya sudah berada di rumah. Sejak itu saya tidak bisa ketemu Ani lagi sampai hari Kamis (26/1).
Dia sudah lebih tegar. Justru Ani berulang kali bilang supaya saya kuat menerima musibah ini. Dia minta saya mendoakan. Dia juga tampak tabah di sel, apa yang terjadi semua harus dijalani. Saya makin sedih mendengar dia berkata begitu. Ani juga berusaha menenangkan diri dengan salat, mengaji, puasa, meski rasa bersalahnya masih kental mengendap.
Padahal sebelum kejadian ini rasanya tidak ada firasat apa pun. Memang dia bilang mau meeting untuk proyek besar. Kalau berhasil, nilainya lumayan. Ani cuma pamit cium tangan dan pipi, lalu pergi kerja hari Sabtu sore. Saya juga tidak kenal tiga temannya di mobil saat kejadian. Belakangan, Ani hanya bilang mereka teman kampusnya.
KOMENTAR