Malam itu, Minggu (1/1), aku sudah mulai beranjak ke tempat tidur bersama ibuku, Sumini (70). Sebenarnya belum terlalu malam, baru sekitar pukul 21.00, dan baru saja melepas anakku Wigati pulang ke rumahnya. Sebab sejak siang hari ia datang bersama suaminya, HR dan anak tunggalnya, Dani Rangga Marta (9).
Karena badan capek ditambah suhu malam yang dingin akibat seharian hujan lebat, penginnya aku segera beristirahat. Namun belum lama mata ini terpejam, aku mendengar pintu rumah diketuk beberapa tetangga.
Mereka dengan tergopoh-gopoh mengabarkan, Wigati bersama anak dan suaminya menjadi korban kejahatan di tengah sawah sepulang dari rumahku. Namun hanya Wigati yang jadi korban kejahatan itu, sedangkan suaminya dan anaknya lolos dari maut.
Mendengar kabar buruk itu, rasanya kaki mendadak lumpuh. Belum genap sejam yang lalu Wigati meninggalkan rumah bersama anak dan suaminya, tiba-tiba ada kabar mengejutkan seperti itu.
Seketika itu juga aku bersama tetangga naik mobil menuju rumah Wigati di Desa Beringin. Sesampainya di depan rumahnya, melihat kerumunan warga dan tenda pertanda duka dipasang, aku langsung limbung tak sadarkan diri.
Setelah divisum di rumah sakit, sekitar pukul 02.00 dini hari jenazah Wigati dibawa pulang ke Beringin. Hujan tangis terdengar di mana-mana ketika jenazah anakku diturunkan dan disemayamkan di ruang tamu. Aku tak bisa membendung emosi, aku menangis sejadi-jadinya ketika melihat tubuh anakku sudah dalam keadaan terbujur kaku di hadapanku.
Bayangkan, siapa yang tak terguncang, baru bebarapa jam yang lalu bertemu dalam keadaan sehat, tiba-tiba anakku sudah dalam keadaan tak bernyawa. Rasa antara percaya dan tidak itu masih terus menggelayut di benakku. Yang bisa aku lakukan saat itu hanya menghujat kekejaman si pelaku yang tega-teganya membunuh Wigati.
Yang tak kalah histerisnya adalah cucuku, Rangga, dan menantuku, HR. Rangga menangis meraung-raung di depan jenazah ibunya, demikian pula HR, ia tak berhenti sesenggukan di sebelah jenazah istrinya, bahkan berulang kali menciumi kaki istrinya yang sudah terbujur kaku. "Dik, kalau kamu mati, aku dan Rangga harus ikut siapa?" ratap HR yang sontak membuat para pelayat lain ikut hanyut dalam suasana penuh duka.
Masih di depan jasad Wigati, HR pun berkata kepadaku, sebagai penganti istrinya yang sudah tiada, ia minta agar aku tetap tinggal bersamanya. "Bu, sebagai penganti Wigati, saya minta ibu tetap tinggal bersama saya selamanya," kata HR dengan suara menyayat.
Namun apa yang dilakukan HR itu tak lebih dari sandiwara belaka. Selang dua hari berikutnya, tepatnya pada tanggal 3 Januari aku mendapat kabar yang tak kalah mengejutkannya dari aksi pembunuhan atas Wigati.
Aku dengar pelaku pembunuhan sudah tertangkap. Salah satunya adalah karyawan Wigati. Namun, yang membuat aku nyaris tak percaya, pembunuhan itu ternyata didalangi oleh HR sendiri! Ya Allah, saking kagetnya, seketika itu juga aku kembali tak sadarkan diri.
Setelah kembali tersadar, rasanya semua cerita yang aku dengar itu bagai kisah di film-film saja. Aku tak habis pikir, apa yang ada di benak HR hingga tega mendalangi pembunuhan istrinya sendiri. Aku pantas terkaget-kaget, karena aku melihat, tak ada sedikitpun tanda-tanda terjadinya percekcokan di antara mereka. Justru aku melihat, keduanya rukun dan bahagia.
Seiring berjalannya waktu, aku juga mendengar, penyebab terjadinya pembunuhan terhadap putriku lantaran HR terlibat asmara dengan wanita lain. Padahal, menurutku, bila memang sudah tidak suka pada anakku, mengapa tidak dicerai saja. Mumpung anakku masih muda dan cantik sehingga masih bisa mendapat suami yang lebih baik.
Yang membuat aku makin tak habis pikir, HR benar-benar bisa bermain sandiwara dengan sempurna. Bayangkan, di hari kejadian itu siang harinya ia datang naik motor bersama istri dan anaknya ke rumahku. HR pun bercerita, ia baru saja pulang dari Jumus, perkebunan teh yang kini dijadikan lokasi wisata. Ia bilang, sengaja mengajak jalan-jalan anak dan istri untuk mengisi liburan tahun baru.
Sepulang dari Jumus, ia mampir ke rumahku. Tentu aku gembira, apalagi sudah lama tak bertemu Rangga, cucuku. Selama berada di rumahku, semua berjalan baik-baik saja. Mereka bertiga terlihat banyak guyon, bahkan tidur-tiduran di kursi panjang depan rumah. Mereka pun sempat salat Ashar, Maghrib, dan Isya di musala depan rumah.
Selain menjengukku, mereka pun memberi uang Rp 1 juta untuk memperbaiki ruang tamu, mengingat tak lama lagi akan ada kenduri dua tahun meninggalnya suamiku, Sabar. Setelah salat Isya, mereka pamit pulang. Aku ingat persis setelah aku menciumi Rangga dan Wigati, bergantian HR mencium tanganku dengan santun.
Yang membuat aku sakit hati sekali, sehari setelah kejadian pembunuhan itu, Sumadi, ayah HR masih sempat-sempatnya memfitnah dan menuduhku bahwa pembunuhan itu didalangi oleh mantan kekasih Wigati. "Mbak, saya yakin Wigati itu dibunuh oleh seseorang yang merupakan suruhan lelaki yang dulu pernah dekat dan disakiti oleh Wigati," demikian kira-kira ucapan Sumadi yang sungguh membuat hatiku pedih.
Sontak, ucapan itu langsung aku bantah. "Tidak mungkin! Anakku sebelum menikah dengan HR tidak pernah menjalin hubungan dengan lelaki lain!" sanggahku. Menurutku, ucapan itu sudah keterlaluan dan tidak tepat diucapkan. Bayangkan saja, baru sehari aku kehilangan anak, tapi sudah dipojokkan dengan ucapan yang menyakitkan seperti itu. Aku jadi pengin tahu, bagaimana sikap Sumadi setelah tahu ternyata otak pembunuhan itu justru anaknya sendiri.
Akhirnya lima hari setelah pemakaman, makam Wigati yang semula terletak di Desa Beringin dipindah ke pemakaman di desa kami, Desa Watualang. Sebab, menurutku, bila tetap berada di sana, siapa yang kelak merawat makamnya?
Aku pun tak habis pikir dengan BDN, karyawan Wigati yang termasuk pelaku pembunuhan itu. Mengapa ia begitu tega, padahal setahuku, Wigati sangat sayang kepada semua karyawannya. Aku mengatakan demikian karena aku tahu dan pernah melihat dengan mata kepala sendiri sikap Wigati terahdap anak buahnya. Setiap ada waktu sengang, Wigati biasanya membuatkan kopi untuk seluruh karyawannya dan memberikan sebungkus rokok untuk setiap karyawannya.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR