Sekitar tahun 2008-2009, LIPI, kata Kepala Divisi Program dan Kerjasama LIPI Jogja Satriyo Krido Wahono,ST, melakukan uji coba produk kalengan yang isinya sayur lombok ijo khas Gunungkidul, mangut lele khas Bantul, dan gudeg khas Jogja. Hasil produksi itu dijual di pameran-pameran, sekaligus diperkenalkan ke masyarakat soal adanya teknologi pengalengan makanan basah.
''Prinsip kami, selain ingin mengangkat citra makanan khas daerah provinsi DIY, juga untuk mengimplementasikan hasil penelitian agar bisa bermanfaat bagi masyarakat luas. Mayarakat langsung bisa merasakan. Selama ini, kan, ada pendapat, hasil penelitian hanya untuk peneliti dan teman-temannya saja,'' jelas Satriyo.
Tahun 2010 mulai ada permintaan dari masyarakat akan adanya produk-produk yang dipamerkan itu. Sambil terus melakukan percobaan, LIPI Jogja juga mengurus perizinan untuk memproduksi makanan kalengan itu agar bisa dijual bebas ke masyarakat. Setelah izin keluar, ''Produknya dijual di swalayan di Jogja dan Koperasi LIPI Jogja. Sekarang per bulan rata-rata 2 ribu kaleng untuk empat macam produk yang dijual di Koperasi LIPI Jogja. Yakni, tempe kari, mangut lele, gudeg, dan sayur lombok ijo. Tapi dulu waktu masih percobaan, kami mendatangkan juru masak agar bisa diawasi tidak pakai penyedap tambahan dan zat pengawet. Sekarang koperasi LIPI memasak sendiri.''
Menurut LIPI, si saat percobaan pengalengan masih berlangsung ada beberapa pedagang gudeg di Jogja yang turut mengalengkan produknya. Tetapi pada tahun 2010, mungkin Gudeg Bu Tjitro melihat prospek gudeg kaleng ini bagus. Jadi mereka menindaklanjuti dengan serius. ''Itu sebabnya pada Juni 2011 lalu LIPI dan Gudeg Bu Tjitro melakukan perjanjian kerjasama memproduksi gudeg kaleng.
Betul, LIPI memang melayani masyarakat, tapi secara etika bisnis kami juga harus mendahulukan mana yang datang duluan. Sehingga saat ini kami tidak ada kerjasama dengan pedagang gudeg lain. Secara hukum alasannya karena terikat kerjasama dengan Gudeg Bu Tjitro dan secara teknis, kapsitas mesinnya kecil dan sudah penuh untuk melayani 10 ribu kaleng per bulan. Setelah dihitung, mesinnya harus bekerja setiap hari dengan perhitungan lima hari kerja. Kan, harus ada maintenance. Kalau menambah lagi, apakah kami mampu?''
Satriyo juga mengatakan, sebenarnya LIPI memiliki dua buah mesin pengalengan. Tetapi, satu dari dua mesin itu rusak. ''Yang rusak itu kapasitas produksinya besar. Sekali proses bisa 10 ribu kaleng. Untuk memperbaiki mesin dananya belum ada. Maksud kami, nanti bila pemasukan dari kerjasama dengan Bu Tjitro ini sudah terkumpul, bisa untuk memperbaiki mesin. Sehingga kapasitasnya bisa naik. Dengan begitu, kami bisa membuka kerjasama lagi, melayani masyarakat yang hendak mengalengkan makanan produksinya.''
Lalu, faktor apa yang bisa membuat gudeg kaleng tahan lama? "Itu hasil dari proses sterilisasinya. Lebih pada mikrobiologi untuk pengawetan. Sebenarnya bisa tahan tiga tahun. Tapi dalam pencantuman tanggal kedaluwarsanya tidak boleh lebih dari satu tahun,'' tegas Satriyo.
Hati Hj. Lies, pemilik empat gerai Gudeg Bu Lies gundah tiap kali ditanya konsumennya yang hendak membawa gudegnya ke luar kota, ''Bisa tahan berapa hari gudegnya?'' Pertanyaan yang nyaris tiap hari dilontarkan pelanggan itulah yang membuatnya penasaran, harus dengan cara apa membuat gudegnya tahan lama.
Akhirnya muncul ide untuk mengalengkan produknya. ''Setelah tanya ke sana ke mari akhirnya bertemu orang LIPI. Lalu saya ke sana membawa produk gudeg saya yang ciri khasnya kering, cokelat, dan gurih-manis,'' terang Lies. Benar saja, tak berapa lama gudegnya bisa dikalengkan. Rata-rata per hari bisa mengalengkan 500 kaleng. Sayangnya tak bisa rutin. ''Dibatasi oleh LIPI. Saya tidak tahu sebabnya. Itu, kan, kantor pemerintah, ya. Sebenarnya andai LIPI mau kerjasama dengan banyak UKM pastinya bermanfaat sekali.''
Yang mengejutkan Lies, sepanjang musim liburan sekolah Juli lalu, 1.500 kaleng ludes terjual. Dan selanjutnya permintaan per hari bisa mencapai 200-300 kaleng. Sayangnya, Lies kini harus kecewa dan menahan keinginnnya meningkatkan produksi gudeg kaleng. ''LIPI sudah tidak bisa menerima gudeg saya lagi. Katanya kalengnya habis. Ya, kecewa juga, sih, padahal pelanggan mulai banyak yang minta gudeg kaleng,'' tutur Lies yang terakhir mengalengkan gudegnya di LIPI pada Ramadan tahun lalu.
Sadar Inovasi
Sebagai pedagang gudeg, Lies mengaku sadar arti pentingnya inovasi dari sebuah produk. Karena gudeg yang dijualnya mengunakan kendil dan besek, hanya tahan dua hari. ''Kalau dalam kaleng, kan, bisa tahan lebih dari satu tahun. Makanya saya ingin punya pabrik pengalengan gudeg sendiri agar tidak tergantung pada LIPI. Saat ini saya sudah punya tempat dan dalam proses mengurus izin pembangunannya, serta mengusahakan pembelian alat-alat pengalengan.''
Beruntung, di Jogja ada yang menjual mesin pengalengannya. Kendalanya cuma satu, di Jogja tak ada yang jual kalengnya. "Akhirnya saya dapat dari Surabaya, meski lebih besar sedikit dari yang dipunya LIPI. Untuk beli kaleng ini harus dalam jumlah 100 ribu kaleng. Nah, lagi-lagi kendalanya saya belum punya tempat menyimpan kaleng yang steril. Tanah yang saya punya baru bisa untuk pengalengan dan pengepakan. Masih butuh tanah untuk gudang.''
Satu kaleng gudeg Bu Lies saat ini berisi gudeg, telur, dan sambal kerecek, plus tempe. Bila ditotal beratnya 200 gram. ''Ternyata, kalau mau maju harus dicambuk. Kalau kepepet tidak punya pabrik, ya, harus mendirikan pabrik. Saya sudah punya satu set mesin untuk mengalengkan gudeg. Kapasitasnya besar dan bisa beroperasi 24 jam. ''Saya maunya punya lisensi tak cuma berisi gudeg, tapi juga berisi sayur brongkos, rendang, atau lainnya.''
Bikin Penasaran
Bila semula orang luar kota banyak yang meminta gudeg dalam wadah kendil atau besek, kini, kata Lies, mulai beralih minta gudeg kaleng. ''Yang dari luar kota sudah mulai minta gudeg kaleng karena tidak penuh risiko dan penasaran dengan isinya dan rasanya. Rasanya lebih enak kok, tidak berubah. Malah pernah ada orang dari Singapura dua kali datang beli gudeg kaleng. Ada juga yang datang mengadu peruntungan dengan membawa beberapa kaleng untuk dijual lagi," jelasnya
Rencananya, Lies akan memroduksi dua jenis gudeg kaleng. Untuk konsumen vegetarian dan non vegetarian. "Yang vegetarian tidak pakai ayam dan telur. Cukup gudeg dan areh saja. Dua-duanya tidak pakai penyedap tambahan dan pengawet. Saya pakai bumbu alami dan tradisional. Warna merah atau cokelatnya berasal dari gula merah, pedasnya dari cabe, gurihnya dari garam beryodium. Pak Asep dari LIPI juga membuat penelitian doktornya pakai gudeg saya, lho. Pak Asep bilang, gudeg saya tidak terlalu manis dan bagus kualitasnya.''
Diakui Lies, memang tidak mudah mendirikan pabrik pengalengan gudeg. Untuk bangunan pabriknya saja harus memenuhi berbagai macam syarat. ''Tapi tidak apa-apa. Semua akan saya lakoni. Kalau mau maju memang harus dicambuk dulu,'' tegasnya.
Tak Diminati Orang Asing
Meski di kawasan kampung Wijian berderet penjual gudeg, namun tidak semua pedagang tahu bahwa kemasan gudeg kini sudah bisa diinovasi dalam kemasan kaleng. Karena itu, gudeg kaleng tak bisa dijumpai di setiap warung gudeg di kawasan ini. Mama Erna, pemilik Rumah Makan Gudeg Selatan, Plengkung, Wijilan, misalnya, mengaku tak tertarik mengalengkan gudegnya, kendati gudeg kaleng lebih praktis dibawa ke luar negeri.
''Ah, saya hidup lama di Jerman. Suami saya orang Jerman. Karena itu saya yakin orang luar negeri tidak tertarik makan gudeg kaleng. Wisatawan datang ke Jogja, kan, ingin mencari yang serba tradisional. Mereka pasti lebih suka gudeg dibungkus daun atau besek," tegasnya.
Sama halnya dengan Ny. Siska, pemilik Rumah Makan Gudeg Hj. Ahmad di Barek, Yogyakarta. Ia mengaku selama ini hanya mendengar ada gudeg dikalengi. ''Yang ada dalam benak saya, kalau dikalengkan berarti pakai zat pengawet, ya? Kalau tidak, bagaimana bisa tahan lama?'' tanya Siska soal gudeg dalam kemasan kaleng.
Berhubung konsumennya selama ini lebih banyak yang memesan dalam kemasan besek atau kendil, Siska pun mengaku belum tertarik mengemas gudegnya dengan kaleng, lantaran ingin mempertahankan tradisi. Cucu Hj. Ahmad ini mengaku, gudegnya yang kering dan tak terlalu manis sering dibawa para pelanggannya hingga ke luar negeri. Terutama para dosen yang akan melanjutkan sekolah ke Jepang, Jerman, atau negara lainnya.
''Biasanya mereka bawa gudeg dengan boks khusus makanan. Setibanya di luar negeri dimasukkan ke dalam freezer. Bila hendak makan tinggal ambil seperlunya, lalu dihangatkan. Dalam kondisi normal pun, tanpa masuk kulkas, gudeg kami tahan sehari semalam, kok. Selanjutnya, ya, harus dipanaskan lagi."
Gudeg Hj. Ahmad mulai dijual sejak 1960-an. Awalnya, Bu Ahmad hanya melayani para pekerja bangunan Gedung Fakultas Geografi UGM, yang saat itu tengah dibangun. Lalu para dosen UGM dan mahasiswa ikut-ikutan membelinya. Kendati demikian, kata Siska, nama Gudeg Hj. Ahmad mulai populer ketika Presiden Soeharto mulai berkuasa. Orang nomor satu ini tergolong maniak makan gudeg buatan Hj. Ahmad. "Kalau sekarang, ya, pejabat-pejabat seperti Pak Agum atau orang Istana Kepresidenan Jogja yang sering memborong gudeg. Katanya buat dibawa ke Istana Negara untuk oleh-oleh Pak SBY.''
Rini Sulistyati
KOMENTAR