Bermula dari ''impian'' Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Yogyakarta yang ingin mengangkat citra makanan khas Provinsi DIY ke kancah internasional. Karena itu tim peneliti dari LIPI ingin menjadikan hasil penelitiannya dekat dan bisa diimplementasikan oleh masyarakat luas. Penelitian pun dibuat. Hasilnya, tempe bacem, sayur lombok ijo, mangut lele, dan gudeg pun berhasil dikalengkan, tanpa zat pengawet dan penyedap rasa tambahan. Soal rasa pun tak jauh berbeda dengan aslinya.
Rupanya, mimpi yang sama juga dimiliki Jatu Dwi Kumalasari (31) pemilik Rumah Makan Gudeg Bu Tjitro, Jl. Janti, sejak 2004. Tak lelah, cicit Bu Tjitro itu mengaku berselancar di internet sekadar mencari informasi, adakah perusahaan pengalengan makanan. ''Sejak 2004 sudah terpikir oleh saya untuk mengalengkan gudeg. Yang saya temukan justru website-nya LIPI Jogja. Ternyata mereka sudah mengalengkan sayur lombok ijo. Lalu saya ke LIPI mengemukakan ide saya untuk mengalengkan gudeg. Ternyata ide saya disambut baik,'' terang Jatu.
Mewujudkan mimpi ternyata tak semudah angan. ''Saya pikir tinggal bawa gudeg lalu bisa dikalengkan. Ternyata tidak. Kami harus melalui serangkaian percobaan. Pertama, hasilnya berasa getir dan asam. Setelah saya cari muasalnya, rasa getir muncul dari getah buah nangka. Sementara asam berasal dari tempe yang ada dalam sambal kerecek. Tempe, kan, diproses melalui fermentasi ragi. Itu yang bikin asm.''
Bukan itu saja kendalanya. Jatu harus jatuh-bangun mengurus perizinan dari BPOM, sertifikasi halal, dan keluar-masuk beberapa laboratorium di Jogja dan Bandung untuk menakar kadar lemak, protein, dan lainnya, serta perizinan produksi gudeg kaleng. ''Jadi sambil jalan mengurus perizinan, saya membenahi urusan dapur. Resep turun-temurun dari Eyang Tjitro saya bongkar lagi untuk menemukan formula yang pas agar gudeg kalengnya tidak getir dan asam.''
Percobaan kedua, gudegnya terlalu basah. ''Gudeg basah memang ciri khas Gudeg Bu Tjitro di samping areh putihnya. Tapi ternyata tidak cocok untuk dijadikan gudeg kaleng. Jalan keluarnya, saya harus kerja keras lagi, memikirkan cara mengurangi kadar airnya.''
Total percobaan hingga lima kali, lanjut Jatu, baru lah benar-benar ditemukan formula yang tepat. Namun persoalan baru mulai menghadang. ''Saya terima masukan, konsumen kesulitan membuka kalengnya. Jadi saya ingin pakai kaleng yang pull up. Sekali tarik, kaleng terbuka. Ini lebih memudahkan konsumen. Karena itu ditemani suami, saya keluar-masuk pabrik di beberapa kota untuk menemukan kaleng yang saya maksud dan memenuhi standar dunia. Karena tak semua jenis kaleng cocok untuk wadah makanan basah. Ketika pabrik kaleng saya temukan, ternyata harus beli dalam jumlah 20 ribu kaleng. Sementara produksi gudeg saya masih terbatas 10 ribu kaleng per bulan. Saya, kan, tergolong pengusaha menengah. Karena itu saya harus berkongsi dengan produsen makanan lainnya dalam membeli kaleng.''
Ketika urusan kaleng beres, lagi-lagi jalan belum lapang. ''Mesin yang dimiliki LIPI ternyata tak cocok dengan kaleng yang saya beli. Diameter kaleng saya lebih kecil beberapa mili dari yang dimiliki LIPI. Bila dipaksakan, tutupnya akan meleset. Jadi saya harus cari tenaga ahli dari pabrik makanan lain untuk mengatasi masalah ini. Akhirnya saya patungan dana dengan LIPI untuk mendatangkan tenaga ahli ke Gunungkidul. Saya lega ternyata kesulitan teratasi.''
Terakhir, baru disadari Jatu soal pencantuman tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa produk gudeg kalengnya. ''Masyarakat sepertinya tak percaya dengan tulisan manual di kaleng. Jadi saya harus mencari lagi mesin untuk menuliskan masa kedaluwarsanya. Itu pun harus merakit sendiri karena saya beli yang harganya mampu saya jangkau. Membuat gudeg kaleng ini benar-benar perjuangan keras. Tapi tak apa, hitung-hitung biaya promosi.''
Setelah urusan kaleng dan resep dapur beres, Juni 2011 lalu Jatu dan LIPI sepakat membuat MOU untuk memroduksi gudeg kaleng selama tiga tahun ke depan. Dengan MOU itu, Gudeg Bu Tjitro di bawah kepemimpinannya akan memproduksi 10 ribu kaleng gudeg per bulandan LIPI tidak akan memroduksi produk serupa untuk produsen gudeg lain.
KOMENTAR