Suasana haru bercampur bahagia tergambar di terminal kedatangan Bandara Soaekarno Hatta, Jumat (20/1) sekitar pukul 22.00. Malam itu, para ABK Costa Concordia asal Indonesia yang terkena musibah di Italia, tiba dengan selamat. "Saya lega bisa sampai ke Tanah Air. Tentu, semua ini berkat pertolongan Allah," ujar Arif Mustofa (45), salah seorang juru mudi kapal Costa Concordia.
Arif pantas berlega hati. Ia bisa kembali bertemu istri dan keluarga tercinta yang menjemputnya di bandara setelah mengalami peristiwa mencekam. Dikisahkan Arif, di hari nahas itu ia sedang lepas tugas. Jumat (13/1) pukul 21.40 waktu Italia, ia tengah tertidur di dalam kapal ketika tiba-tiba terjadi goncangan keras. "Belakangan saya tahu, kapal menabrak karang. Benturannya kencang sekali. Saya kaget dan langsung bangun. Awalnya, kapal miring ke kiri. Saya langsung melompat dari tempat tidur."
Kapal sempat berjalan normal, tapi kemudian memutar dan mulai miring ke kanan. Selanjutnya, peristiwa berlangsung begitu mencekam. Arif tak lagi memikirkan semua barang berharga miliknya, termasuk kartu identitas. Arif yang kala itu hanya bercelana pendek langsung menuju life boat, sesuai tugasnya ia siap pegang kemudi untuk menyelamatkan penumpang.
"Saya siap-siap sambil menunggu perintah kapten kapal," kata Arif seraya menjelaskan ada lebih dari 30 perahu sekoci penyelamat di kapal itu.
Sesaat kemudian terdengar peluit dan aba-aba menandakan kapal bocor. Sesungguhnya pada saat itu masih tersimpan harapan kapal masih bisa diselamatkan. Namun situasi bertambah panik karena lampu padam. Di gelap malam, "Terdengar jerit kepanikan penumpang. Banyak yang menangis. Saya sudah siap membuka pintu boat, namun belum bertindak. Rupanya kapal memang sudah tak bisa diselamatkan," tutur bapak empat anak asal Madura ini.
Sekitar 30 menit kemudian, terdengar peluit berbunyi yang menandakan semua orang harus segera meninggalkan kapal. Sekitar 130 penumpang plus Arif dan seorang asisten sudah berada di boat. Arif yang saat itu berada di dek 4, segera menurunkan sekoci. "Boat meluncur ke bawah, tapi sempat menyangkut. Boat bergoyang kencang. Saya jadi panik, penumpang sudah berjerit-jeritan. Saya khawatir kalau boat sampai robek, penumpang bakal meluncur ke laut. Itu sangat berbahaya."
Untung, sekoci bisa lepas dan turun ke permukaan laut. Arif yang masih memegang kemudi mencoba menenangkan hati. Ketika perahunya bisa meninggalkan kapal dan melaju sekitar 5 meter, "Saya sudah tenang. Saya yakin sudah pasti selamat. Apalagi, yang lebih membuat tenang, helikopter dan regu penyelamat sudah stand by," kata Arif yang sudah hafal situasi setempat karena memang sering dilewati.
Sekitar 15 menit kemudian, boat sampai ke tepian. Setelah berhasil menurunkan penumpang, Arif kembali mengemudikan boat ke arah kapal untuk menyelamatkan penumpang lain. "Saya tiga kali bolak-balik. Ketika melajukan kapal, saya juga sempat menolong beberapa penumpang yang berenang menyelamatkan diri. Sambil menyelamatkan penumpang, saya lihat kapal pelan-pelan miring. Tidak sampai karam karena menyangkut di karang."
Peristiwa mencekam juga dialami Sumardi, salah satu ABK. Satu hal yang paling diingat Sumardi atau akrab dipanggil Adi saat kejadian adalah wajah anak bungsunya, Pasha (14 bulan). "Saya sebenarnya sudah pasrah, tapi teringat keluarga terutama Pasha," tutur Adi yang sekembalinya ke Indonesia sempat kaget melihat kemajuan putranya. "Waktu ditinggal, Pasha masih belum bisa jalan. Sekarang sudah bisa jalan. Saya bersyukur sekali bisa selamat dan masih bisa bertemu semua keluarga," kata Adi dengan senyum sumringah.
Kenangan Adi pun lantas kembali ke kejadian malam itu, pukul 21.30 waktu setempat saat kapal terasa miring. "Sebenarnya kalau miring, sih, sudah biasa. Tapi makin lama, kok, makin miring. Piring-piring mulai berjatuhan dan pecah. Tamu-tamu tidak nyaman makan. Tadinya saya pikir hanya ada ombak besar, sekali goncangan saja akan selesai. Rupanya di lantai bawah kondisinya sudah sangat parah."
Akhirnya, lampu mati dan semua penumpang meninggalkan restoran. Saat lampu kembali menyala remang-remang, restoran sudah hancur. "Akhirnya evakuasi dilakukan ke bagian yang tidak miring, yaitu di lantai 4. Air yang masuk sudah sampai selutut, rasanya dingin sekali. Melangkah pun terasa berat saking dinginnya."
Adi terakhir masuk ke sekoci setelah mengangkut semua penumpang. "Waktu itu posisi lantai sudah menjadi dinding, sementara tembok menjadi lantai. Saya lihat teman di posisi yang miring mencoba berenang. Kalau tidak berenang mungkin dia sudah hilang."
Semua barang berharga Adi hilang, termasuk uang. "Untungnya gaji saya sudah ditransfer. Memang, karena ada pengurangan gaji saya harus irit, tidak banyak menelepon keluarga di Indonesia," papar Adi sambil mengatakan kejadian itu nyaris sama dengan tenggelamnya Titanic 100 tahun lalu. "Orang saja menyebutnya Titanic Italia. Saya juga pernah nonton film Titanic, ternyata sekarang mengalami sendiri."
Hingga kini, dari 170 ABK asal Indonesia, masih ada satu orang yang dirawat di rumah sakit di Italia. "Dia terjatuh dalam posisi miring, tulang belakangnya patah," kata Adi yang mulai berlayar sejak 2005. "Berlayar memang jadi keinginan sendiri dan cita-cita sejak lulus sekolah. Selama itu, baru kali ini mengalami kejadian besar seperti ini. Sebelumnya sudah pernah, tapi hanya kecelakaan kecil saja seperti kapal bocor."
Sebelum kejadian, Adi yang bekerja sebagai Leader (kapo) di restoran ini bahkan sempat mengalami firasat. Bersama 6 anak buahnya, Adi merasa ingin segera pulang. "Padahal, seharusnya baru Agustus bisa pulang. Eh, ternyata sekarang pulang betulan, tak sampai Agustus. Bahkan bisa bareng pulang dengan teman yang mau pulang Februari."
Meski tak kapok berlayar lagi, Adi mengaku butuh waktu untuk menenangkan diri. "Mempersiapkan mental dan mengurus dokumen karena semua hilang. Yang saya bawa pulang sekarang hanya surat pengganti paspor saja."
Rencananya, setelah Agustus, Adi ingin merasakan Lebaran bersama keluarga di rumah. "Selama 6 tahun tak pernah Lebaran di rumah," tutur Adi yang senang berlayar karena gajinya besar. "Dibanding kerja di sini dengan posisi sama, pasti butuh waktu lama buat dapat gaji besar. Selain itu, tentu saja bisa ke luar negeri gratis," papar Adi.
Akan halnya dengan Arif yang sudah menjadi ABK sejak 1991. Pria yang segera berkirim SMS ke istrinya di Tanjung Priok untuk memberi kabar setelah kejadian ini, tak merasa jera. "Pelaut sudah jadi darah saya. Saya berprinsip, mati adalah takdir Tuhan. Makanya setelah istirahat, saya akan kembali berlayar."
Kerja keras KBRI Italia mengembalikan seluruh ABK asal Indonesia ke Tanah Air juga membuatnya bersyukur. "Saya hanya memikirkan rekan saya, juru mudi Jakob yang kala itu pegang kemudi. Sampai sekarang ia masih dalam pemeriksaan," kata Arif.
Henry, Nove / bersambung
KOMENTAR