Komunitas Pemain Kecapi Musik Lintas Generasi
Tangan-tangan mungil itu terlihat begitu lincah memetik kecapi. Sekeping kuku palsu yang terbuat dari kulit kura-kura dibalutkan dengan plester ke ujung jari-jari anak-anak siswa kursus Jade Music School (JMS), Medan. "Agar suara kecapinya lebih nyaring. Kalau tak pakai itu, tangan bisa sakit," ujar Ngartini Huang (42), Ketua Komunitas Pemain Kecapi yang mengotaki berdirinya JMS.
Dulu, kisah Ngartini, tak semua orang boleh mendengarkan dan memainkan kecapi Cina tersebut. Hanya kalangan cendekiawan dan pelajar yang boleh menikmati indahnya denting kecapi. "Kalau sekarang, kesempatan belajar sudah lebih lebar. Bahkan dianjurkan agar melestarikan budaya," katanya.
Dengan semangat melestarikan budaya peranakan Tionghoa di Indonesia itulah secara rutin KPK mengadakan pertunjukan dan kursus. Sejak berdiri tiga tahun lalu, anggota KPK sudah mencapai ratusan orang dengan rentang usia bervariasi, mulai 3 hingga 60-an tahun. Rata-rata tak menemui kesulitan untuk belajar memetik kecapi. "Engak susah karena menggunakan not angka, jadi tak perlu menguasai not balok."
Syahdunya dentingan kecapi juga konon bisa menentramkan jiwa dan membantu proses meditasi, salah satu manfaat yang menarik bagi kaum yang sudah berumur. "Bahkan dentingan kecapi sering dimainkan para biarawan untuk mendapatkan ketentraman batin," lanjut Ngartini yang sudah belajar kecapi di Kuala Lumpur, Hongkong, dan Cina ini.
Istimewanya, Ngartini dan KPK tak hanya membawakan lagu-lagu tradisional Cina dengan kecapi. Mereka juga menggubah dan mengaransemen ulang beberapa lagu pop klasik dan lagu Indonesia. Bahkan lagu daerah Batak pun pernah mereka bawakan. "Tahun ini kami mengaransemen lagu Batak Lisoi, setelah tahun lalu membawakan Sing Sing So," ujar wanita yang juga memperkenalkan kecapi kepada kedua anaknya sejak usia 8 tahun ini.
Di JSM, Ngartini juga tak ragu membaurkan siswa-siswa muda dengan mereka yang sudah senior. "Bahkan yang baru belajar 1 bulan pun saya dorong agar berani tampil bersama seniornya," lanjut Ngartini yang mematok harga Rp 2 juta hingga puluhan juta sekali main.
Berpakaian ceongsam warna merah menyala, kelompok musik lintas generasi ini menyemarakkan perayaan imlek.
Sudah beberapa tahun belakangan ini Teater Bejana Jakarta selalu berpentas berdekatan dengan Imlek. Yang paling gres, beberapa hari lalu mereka memainkan lakon Nonton Cap Go Meh di Kelenteng Toa Se Bio. Lakon yang sama juga akan dipentaskan di Gedung Kesenian Jakarta 2-3 Februari nanti. "Ini pengalaman pertama kami, main di klenteng. Penonton ramai sekali. Bahkan, anak-anak nonton dekat panggung. Sempat juga kesulitan untuk blocking, soalnya tidak ada jarak antara penonton dan pemain," tutur Daniel Hariman Jacob (36), sutradara Teater Bejana seraya mengatakan pentas kali ini dalam rangkaian Jakarta Biennale 14.
Nonton Cap Go Meh diangkat dari novel era tahun 30-an karya Kwee Tek Hoay (KTH). KTH dikenal sebagai sastrawan Melayu Tionghoa yang sangat produktif. Sepanjang karier kesastrawanannya, ia menghasilkan ratusan karya baik novel, naskah drama dan puisi. "Sayang, selama ini karya sastra Melayu Tionghoa kurang begitu diperhatikan, bahkan cenderung terpinggirkan. Bahkan dalam sastra kita, sastra Melayu Tionghoa ini tidak dianggap sebagai karya sastra. Padahal, dalam hal produktivitas dan kualitas karya mereka tidak kalah," lanjut Daniel.
Staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Univeristas Indonesia ini melanjutkan, baru setelah era reformasi orang mulai menengok karya sastra Melayu Tionghoa. "Nah, saya dan teman-teman ingin menggaungkannya lewat pentas. Sejak tahun 2004, kami sudah intens memanggungkannya," tutur Daniel yang ikut mendirikan Teater Bejana 19 Mei 2002.
Menurut Daniel, karya KTH yang kaya misi tak hanya bagus untuk tontonan, tapi juga tuntunan karena berisi ajaran moral dan punya muatan sastra yang kental. "Misalnya saja lakon Zonder Lentera tentang pemimpin yang suka bohong. Ada juga tentang orang yang mendewakan harta. Ia juga bicara soal pembauran," tutur Daniel. Selain itu, lanjutnya, Teater Bejana juga berencana akan mementaskan sastrawan Melayu Tionghoa lainnya. Misalnya saja Soe Li Pit (ayah Soe Hok Gie, Red). "Karya-karya Soe Li Pit juga menarik untuk dipentaskan."
Bisa jadi karena karena kerap mementaskan lakon berlatar Tionghoa, "Sudah tiga tahun terakhir ini kami punya jadwal main di Gedung Kesenian Jakarta berkaitan dengan Imlek. Kami bahagia, pentas-pentas kami cukup menarik perhatian, baik dari penonton maupun media."
Daniel tak menduga, pentas teaternya tak hanya disukai oleh orang-orang tua. Anak-anak muda pun banyak yang suka. "Bahkan, ada penonton kami yang sampai memborong tiket untuk karyawannya," kata Daniel seraya mengatakan, pentas Teater Bejana sering berkolaborasi dengan kelompok barongsai Alam Semesta dari Vihara Tri Dharma Cipinang. "Pentas kami cenderung kolosal. Untuk pemain barongsai saja ada 20-an pemain. Total dengan pemain dan pemusik kami, lakon Nonton Cap Go Meh diperkuat sekitar 60-an pemain."
Sebagai lakon realis, Daniel berusaha mendekatkan panggung dan kostum dengan suasana tahun 30-n sesuai dengan setting cerita. Termasuk juga soal dialek. "Soal dialek dan bahasa ini, kami punya konsultan. Awalnya memang susah berbahasa dengan menggunakan bahasa Melayu Tionghoa era 30-an itu. Lama-kelamaan, sih, kesulitan ini bisa diatasi," papar Daniel.
Untuk ke depan, Teater Bejana tetap akan konsisten memainkan lakon berlatar masyarakat Tionghoa. Dengan pilihan ini, Teater Bejana pun memiliki segmen penonton tersendiri.
Debbi Safinaz, Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR