Pada 19 Desember lalu, saya mangantarkan istri saya, Tanti Susilowati (31) ke RS. Ketika itu, Tanti mengeluhkan sakit di perutnya. Saya menduga, ini pasti sudah saatnya Tanti melahirkan. Tanti lalu saya di bawa ke RS Bersalin Adiguna Surabaya sekitar pukul 17.00. Sesampainya di RS, Tanti diperiksa langsung oleh dr. SJ yang selama sembilan bulan sebelumnya memang menangani Tanti. Namun, menurut dokter, saat itu Tanti baru mengalami bukaan tiga. Akhirnya kami menunggu di ruang rawat RS.
Kemudiaan pukul 02.00 dini hari Tanti diperiksa kembali dan sudah masuk bukaan tujuh. Saat itu pula Tanti langsung dibawa ke ruang bersalin. Kendati demikian, Tanti tak kunjung melahirkan. Dokter yang kemudian datang di pagi harinya lalu meminta persetujuan pihak keluarga agar Tanti diberi obat perangsang untuk mempercepat kelahiran. Akan tetapi, proses kelahiran tak kunjung tiba. Bahkan, kondisi Tanti semakin melemah.
Selain itu, Tanti mengalami batuk-batuk. Kondisi Tanti pun semakin kritis. Napasnya tersenggal-senggal, menandakan ia kesulitan bernapas. Dalam kondisi yang kritis itu saya sayup-sayup mendengar percakapan antara dr. SJ dengan salah seorang perawat. Dokter bilang, Tanti harus segera dirujuk ke RSU dr. Soetomo Surabaya.
Namun, saya dengar perawat menjawab agar menunggu dulu karena ambulans di RS Adiguna sedang rusak. Sementara itu, Tanti harus segera mendapat pertolongan medis. Sayang, akibat lamanya pelayanan RS Adiguna mengantar Tanti ke RS rujukan, Tanti pun akhirnya harus mengembuskan napas terakhirnya di RS ini.
Tentu saja saya amat sedih sekaligus marah. Bahkan keluarga kami pun ikut meradang. Akhirnya keluarga menduga sudah ada malpraktik dalam proses persalinan Tanti. Indikasinya, sejak awal dokter tak menyarankan dilakukannya operasi caesar dalam proses kelahiran. Padahal kandungan Tanti sudah cukup besar. Seharusnya kalau memang kandungan yang besar itu dianggap berisiko, dokter bisa saja menyarankan untuk operasi, kan? Sayangnya, tidak. Saya jelas kecewa.
Indikasi kedua, sampai pada fase kritis pun dokter tidak mengetahui apa yang dialami Tanti. Dokter tak pernah mengomunikasikan apa yang terjadi pada Tanti, baik kepada saya maupun keluarga. Indikasi ketiga, soal ketiadaan ambulans di RS ini. Saya yakin, andai saja Tanti bisa segera dibawa ke RS rujukan yang memiliki fasilitas lebih lengkap, nyawa Tanti masih bisa tertolong.
Sebetulnya, firasat jika saya akan ditinggal Tanti untuk selamanya sudah saya rasakan sejak sebulan sebelum kami menikah. Ketika itu Tanti pernah bercerita, dirinya baru saja mengalami kecelakaan di sekitar Jl. Margorejo Indah, Surabaya. Di saat kecelakaan itu Tanti terlempar hingga ke kanan jalan, sedangkan dari arah berlawanan muncul mobil pick up dengan kecepatan tinggi. Beruntung, mobil itu masih bisa membanting stir dan Tanti pun terhindar dari maut.
Waktu itu saya sudah punya pikiran buruk, sepertinya saya memang tidak akan bisa hidup lama bersama Tanti. Firasat itu ternyata benar. Namun Tuhan masih memberikan kesempatan kepada saya untuk merasakan bahagianya hidup berumahtangga bersama Tanti. Meski hanya sebentar.
Ya, firasat buruk itu sempat saya abaikan, seiring berjalannya waktu. Dan kami pun menikah pada 13 November 2010 lalu. Kebahagiaan tak terkira kami rasakan saat naik pelaminan. Sejumlah tamu undangan yang datang saat itu kerap berujar, kami pasangan serasi. Apalagi, kata mereka, wajah kami mirip seperti kakak dan adik. Mungkin kami memang sudah berjodoh.
KOMENTAR