Sehari sebelum kecelakaan terjadi, aku tak sengaja memecahkan piring kenang-kenangan pernikahanku. Kehilangan barang peninggalan masa awal pernikahan tersebut jelas membuatku kecewa. Entah apakah itu pertanda aku akan mengalami kesedihan atau bukan, yang pasti esok malamnya aku menerima kabar tak enak tentang Arum.
Kamis (5/1) malam sekitar pukul 20.30, putri kedua dari empat anakku ini meneleponku dari kampusnya. Katanya ia bakal terlambat sampai di rumah karena jalanan macet akibat hujan deras dan badai angin. Kusarankan ia menginap di teman kos temannya, namun Arum bersikeras pulang ke rumah.
Selang sejam kemudian, telepon di rumah berdering. Kali ini dari Adel, teman kakaknya Arum. "Arum ada di Rumah Sakit Husada Mangga Dua, Tante!" katanya membuatku kaget bukan kepalang. Rupanya satpam RS tersebut menemukan nomor Adel lewat handphone Arum yang dititipkan penolongnya.
Aku sempat tak percaya mendengar kabar itu. Bukankah satu jam sebelumnya Arum masih berbicara denganku di telepon? Jangan-jangan penipuan. Kucoba menghubungi handphone Arum yang lain. Begitu diangkat oleh satpam, aku diminta segera datang ke rumah sakit. Untuk memastikan kebenarannya, aku juga telepon ke RS Husada. Ternyata benar, dari bagian UGD mengatakan anakku dalam kondisi kritis. Kalang kabut, aku dan keluargaku segera ke sana.
Lunglai tubuhku begitu melihat putriku terbaring dalam keadaan koma di ruang UGD. Seluruh wajah dan rambut Arum berhias noda darah. Tak tahan melihat kondisinya yang tragis, aku menjerit histeris memanggil namanya.
Belakangan aku tahu penolong Arum bernama Jonathan. Tak satu pun barang bawaan Arum hilang. Oleh Jonathan, Arum segera dibawa ke rumah sakit. Dengan jaminan uang Rp 700 ribu yang ada di dompet Arum, ia langsung mendapat tindakan medis. Uang itu setahuku untuk deposit pulsa elektrik yang seharusnya disetor ke bank. Arum memang jualan pulsa di kampusnya. Sungguh aku bersyukur dan berterimakasih ada orang baik yang menolong anakku.
Dari Jonathan pula aku tahu, saat kejadian Arum berusaha menghindari pohon tumbang. Kondisi hujan gerimis dan jalan licin membuat motornya hilang kendali. Ia pun menabrak pohon tumbang di depannya. Hingga kini motor Arum masih ditahan di kantor polisi. Yang aku tak habis pikir, kondisi motornya tak rusak parah, hanya kaca spionnya yang pecah. Hal ini berbeda jauh dengan kondisi putriku.
Tak lama dirawat di UGD, aku menuruti saran dokter untuk memindahkan Arum ke ruang ICU. Hasil CT Scan menunjukkan Arum mengalami perdarahan di otak. Kata dokter bedah syaraf, otak anakku memar karena terbentur keras. Akibatnya sungguh fatal. Tulang yang ada di tempurung kepala (tulang tengkorak) Arum menusuk bagian otak yang retak. Serpihan tulangnya pun tercecer banyak di otak. Selain itu, tulang di bagian mata, hidung, dan pelipis juga pecah. Keterangan dokter ini kuterima antara percaya dan tidak, karena wajah Arum tak lecet sedikit pun. Hanya bengkak dan dari hidung serta mulutnya terus mengeluarkan darah.
Aku memohon pada dokter untuk melakukan apa saja yang terbaik untuk anakku. Setelah berunding, kami setuju Arum menjalani operasi pada otaknya. Rencananya Arum akan dioperasi dua kali. Bagaikan puzzle, bagian otak dan tulang di kepala Arum akan disusun ulang. Meski dokter bilang kemungkinan sembuh hanya 50 persen, aku merasa masih ada secercah harapan. Apalagi tangan dan kaki Arum masih dapat bergerak. Ia pun masih merespons jika diajak bicara. Bahkan sempat mengangguk ketika kutanyai, meski tak mampu bicara.
Namun, rupanya Tuhan punya rencana lain. Di hari kelima, tingkat kesadaran Arum makin menurun. Bahkan esoknya Arum tak lagi bisa merespons apa pun. Napasnya dibantu mesin dan seluruh tubuhnya dililit selang. Menyusul kemudian ia demam tinggi hingga 41 derajat Celcius. Panas tak kunjung turun, seluruh tubuhnya makin membengkak. Kata dokter, demam ini pertanda buruk karena saraf tubuh yang mengatur suhu badannya tak lagi berfungsi. Obat yang kubelikan untuk kesembuhannya tak juga membantu. Hancur hati ini. Berapa pun biaya pengobatannya akan kubayar! Aku hanya ingin Arum pulih.
Di hari ke-7 peredaran darah Arum ternyata sudah nihil. Kubisikkan ke telinganya, "Kalau Arum kuat, bertahanlah, Nak. Tapi jika tak sanggup lagi, Mama ikhlas lahir bathin merelakan Arum pergi." Aku tak mau Arum menderita karena sakitnya. Tepat delapan hari setelah dirawat, Kamis (12/1) pukul 05.05 Arum mengembuskan nafas terakhirnya. Meski aku tak diberi kesempatan untuk mendengar suaranya sekali lagi, aku relakan nyawa putriku diambil Yang Maha Kuasa.
Ade Ryani /bersambung
KOMENTAR