Berlapis-lapis tabir misteri, kata Roni Saputra, salah satu anggota Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan LBH Padang, menyelimuti penyebab kematian Fa dan Bu. Salah satunya, "surat damai" yang harus ditandatangani pihak keluarga sebelum menerima jasad keduanya. "Isinya, pihak keluarga mengikhlaskan kematian Fa dan Bu. Sebelum surat ini ditandatangani, keluarga tidak diperbolehkan melihat jasad mereka," ujar Roni.
Ketika jasad sudah bisa dibawa pulang dan diperiksa, "Tidak ada bekas gantung diri, lidah keluar, atau tanda-tanda yang biasa dialami orang yang meninggal gantung diri. Justru batok kepala Fa ditemukan lunak dan darah segar masih mengalir dari hidungnya. Di bagian paha Fa juga terdapat luka bekas setruman listrik."
Hasil otopsi dari kepolisian pun tak pernah sampai ke tangan keluarga. Saat tim LBH mendatangi Polres Sinjunjung tempat kasus ini dilimpahkan, Wakapolres Sijunjung Kompol Eri Kurniawan Syah menolak menunjukkan surat hasil otopsi. "Alasannya, surat itu akan dipakai untuk bukti di pengadilan. Kami hanya dibacakan hasil visum rumah sakit yang mengatakan adanya tanda kekerasan akibat benda tumpul di bagian leher hingga membuat keduanya mati lemas," tutur Deddi Alfarisi SH, rekan Roni.
Hasil visum ini juga yang kemudian dijadikan patokan oleh Mabes Polri setelah keluarga Fa dan Bu mengadu ke Jakarta. "Dari hasil otopsi, mereka positif meninggal dunia karena gantung diri," kata Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Saud Usman Nasution. Dugaan penganiayaan juga ditepis Saud. "Tidak ada luka dalam, ini positif bunuh diri," tandasnya.
Setelah kasus ini bergulir, sembilan anggota kepolisian yang saat kejadian sedang bertugas lantas diperiksa Polda Sumbar. "Kalau terbukti bersalah, kenaikan pangkat mereka akan ditangguhkan selama empat tahun ke depan," tandas seorang sumber di kepolisian.
Sekecil apa pun nilainya, pencurian tetaplah tindak kriminal. Meski sepele dan dilakukan oleh anak dari keluarga tak mampu, toh, hukuman pidana tetap menanti. Selain Fa dan Bu di Padang, kasus pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur belakangan merebak dan jadi sorotan media.
Salah satu yang menghebohkan pemberitaan beberapa pekan terakhir adalah peristiwa pencurian sandal jepit yang dilakukan AAL (15) di Palu, Sulawesi Tengah. Alkisah, November 2010, AAL memungut sepasang sandal jepit butut warna putih kusam di pinggir Jalan Zebra, di luar pagar kos Briptu Rusdi Harahap. Sang polisi yang mengaku pemilik sandal, melaporkan AAL atas tindak pencurian dengan dakwaan 5 tahun penjara. Meski hakim menjatuhkan vonis bersalah, AAL tak dikirim ke penjara tapi dipulangkan ke rumah orangtuanya.
Kasus lain terjadi di Bali. DW (15) yang mencopet sebuah dompet berisi uang Rp 1.000, dituntut tujuh bulan penjara di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Menurut pengakuannya, DW menjambret atas desakan seorang teman. Masih di Bali, seorang bocah berusia 9 tahun yang mencuri petasan ditangkap dan ditahan Kepolisian. Seorang anak lain yang mencuri tiga bungkus dupa di Klungkung juga dijatuhi hukuman penjara. Sementara itu, di Makassar Kaharuddin (9) dan tiga temannya diproses hukum setelah kedapatan mencuri besi peralatan mobil di gudang milik Ratih. Karena pertimbangan umur, ia dikembalikan ke orangtuanya.
Di mata Roslina Verauli, M.Psi, tindak kriminalitas oleh anak atau remaja bisa disebabkan oleh berbagai faktor. Mulai dari pengasuhan orangtua yang tidak hangat kepada anak, tidak ada disiplin, minimnya pendidikan maupun aturan dan tuntutan dari lingkungan dapat menyebabkan anak menjadi nakal. "Tapi yang paling penting adalah dari diri anak itu sendiri," ujar psikolog yang akrab disapa Vera ini. Beberapa anak, tutur Vera, memang memiliki temperamen sulit dan cenderung agresif.
Meski begitu, lanjut Vera, penjara bukanlah jawaban. Pasalnya, pengalaman anak di dalam penjara bisa jadi malah membuat trauma, alih-alih memberi efek jera. "Anak nakal wajib dapat konsekuensi tapi bukan penjara karena enggak menjawab kebutuhan anak untuk memahami norma," tegasnya. Konsekuensi yang bisa diterapkan bagi anak di bawah umur yang terlibat kriminalitas bisa berupa kerja sosial, dipulangkan ke orangtuanya, dan diberi tugas atau kewajiban tertentu yang membuat anak mengerti bahwa yang dilakukan sebelumnya adalah salah.
Debbi, Ade, Renty
KOMENTAR