"Klien saya tidak pernah melakukan KDRT," tandas Saefullah, pengacara yang mewakili NC. "Selain itu, kami menolak memberikan keterangan hukum apapun kepada media."
Menurut Saefullah lagi, yang terjadi pada malam itu adalah pertikaian rumah tangga biasa yang jamak dialami pasangan yang sudah menikah. "Saat ribut itulah, BL suaranya meninggi. NC kemudian refleks membungkam mulut BL karena takut suaranya mengganggu tetangga." Ternyata, lanjut Saefullah, tindakan refleks ini menyebabkan bibir BL terluka karena bergesekan dengan behel yang memang dikenakannya. "Luka yang hanya selebar ujung mata pulpen ini yang lalu divisum dan dijadikan materi gugatan KDRT," kata Saefullah.
Setelah proses hukum berjalan, nyatanya BL kemudian malah menghalang-halangi NC untuk bertemu buah hati mereka. Tak berapa lama, "NC mencium adanya indikasi pemalsuan akta kelahiran anak kedua mereka," ujar Saefullah. Anak kedua NC dan BL yang lahir di Depok, ujarnya, dibuatkan akta kelahiran oleh BL melalui calo di Jakarta Selatan. "Ini tentu tidak valid. Pasalnya klien saya memiliki akta dan surat keterangan lahir asli dari wilayah Depok."
Saefullah sendiri mengaku penahanan BL sudah mematuhi prosedur hukum. "Bahkan beberapa saksi yang diajukan BL dan merupakan saudara-saudara BL sendiri malah memberatkan dia."
Bagaimana BL yang awalnya mendapatkan perlindungan dari Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Jakarta Selatan bisa berakhir di penjara, Kanit PPA AKP Fitria Mega menegaskan bahwa proses hukum yang terjadi pada BL berada di luar kuasanya.
"NC membuat laporan di Unit Resmob yang berbeda jalur dengan laporan BL di Unit PPA. Maka, ketika dia dipanggil untuk kepentingan penyidikan kami tidak punya wewenang untuk mencegah," ujar Fitri.
Awalnya, setelah mengadu ke Polres Jaksel, BL yang merasa terancam dilindungi di Rumah Aman yang berada di bawah naungan Depsos. Terhitung sejak Maret 2011 dia menempati shelter tersebut, sementara berkas laporannya diproses ke Kejaksaan. Selama tahap tersebut, polisi terus berusaha melakukan mediasi. Pada 28 Desember 2011 lalu, NC minta dipertemukan dengan anaknya yang sudah setahun tidak dia jumpai. "Kami izinkan mereka bertemu di Polres sebagai tempat yang netral. Sayang, tak ada juga jalan keluar. Kami membantu untuk kepentingan anak semata. Meski saat itu, anak mereka nangis ketakutan melihat ayahnya (NC)."
Saat proses mediasi tak juga membuahkan hasil, NC lalu melayangkan laporan pemalsuan akta kelahiran. "Penetapan BL sebagai tersangka bukan berasal dari kami. Karena dia dilaporkan dengan kasus berbeda, kami tak bisa memberi perlindungan tambahan," ujar Fitri lagi.
Pihaknya hanya bisa memberi saran kepada pimpinan Resmob agar BL diamankan di ruang khusus Unit PPA sebelum ditahan di sel di Rutan Pondok Bambu. "Namun begitu masuk proses penyidikan, kami tak ada kuasa melakukan penangguhan penahanan." Yang dapat melakukannya adalah lembaga luar seperti LBH APIK atau Komnas Perempuan.
Laili Damayanti, Ade Ryani
KOMENTAR